Inovasi tak hanya sekedar menciptakan produk atau layanan baru, inovasi dapat menciptakan model bisnis baru yang dapat mengganggu atau bahkan mengalahkan kompetitor utama dalam industri. Netflix misalnya, platform streaming film dan acara televisi itu telah menjelma sebagai pemain utama berkat disruptive innovation yang diciptakannya terhadap industri persewaan video atau video rental.
Siapa sangka, Netflix yang tadinya merupakan startup kecil yang hanya menawarkan layanan pengiriman DVD justru berhasil menjadi pemain utama dalam industri video rental hingga membuat Blockbuster Video, yang telah memimpin industri ini sejak 1985-an terpaksa gulung tikar.
Awal Mula Disrupsi Netflix Terhadap Blockbuster Video
Blockbuster atau yang sebelumnya dikenal sebagai Blockbuster Video merupakan perusahaan yang menawarkan layanan sewa video atau video rental terkemuka di Amerika Serikat (AS). Adapun jenis video yang disewakan Blockbuster Video adalah kaset video VHS. Meski bukan yang pertama dalam bisnisnya, Blockbuster Video dengan cepat menjelma sebagai perusahaan video rental terbesar berkat banyaknya judul film yang dimilikinya.
Menurut rangkuman Fleet Logging seperti yang dirujuk oleh The Guardian, Blockbuster Video yang didirikan oleh David Cook pada tahun 1985 sebagai toko persewaan video rumahan itu memiliki lebih dari 6.500 judul film. Jauh lebih banyak daripada kompetitornya saat itu. Tak butuh lama, toko pertama yang didirikan Cook sukses besar. Pada tahun berikutnya, Blockbuster Video membuka tiga toko lagi di Texas, Amerika Serikat.
Sementara model bisnis Blockbuster Video bekerja dengan baik, model bisnisnya tidak cukup unik untuk dipatenkan. Sebagai pendiri, David Cook paham betul bahwa perusahaan lain kemungkinan akan mulai meniru model bisnis mereka. Untuk mengatasinya, Blockbuster Video mencoba menjangkau pangsa pasar sebanyak mungkin dalam waktu singkat untuk tetap unggul.
Pada 1997, Blockbuster Video telah membuka 99 cabang toko, kemudian bertambah menjadi 351 pada tahun berikutnya. Jumlah toko cabang Blockbuster Video meningkat dua kali lipat dan mencapai 882. Pada Januari 2005, ada sekitar 5.734 cabang Blockbuster Video yang beroperasi di Amerika Serikat, dan ribuan lainnya di seluruh dunia. Dengan pencapaiannya, Blockbuster Video dijuluki sebagai perintis dalam industri video rental.
Namun, industri video mengalami perubahan dengan munculnya teknologi DVD. Tidak seperti kaset VHS, DVD jauh lebih ringan sekaligus membuka model bisnis baru: pengiriman DVD ke rumah. Dengan begitu, konsumen tak lagi perlu pergi ke salah satu toko cabang Blockbuster Video. Mereka hanya perlu menelusuri katalog film di situs web, melakukan pemesanan, dan DVD akan dikirimkan ke rumah.
Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Netflix untuk memasuki industri rental video. Sebagai startup, Netflix mulai menawarkan layanan sewa DVD, di mana konsumen dapat menyewa judul film yang mereka inginkan hanya melalui Netflix.com. Memulai debutnya pada 1998, menyediakan 925 judul film atau hampir seluruh judul DVD yang ada pada saat itu.
Kala itu, Netflix hanya menargetkan pelanggan yang tidak tertarik untuk menonton film yang baru dirilis, sebuah segmen yang kurang penting dari Blockbuster Video. Namun siapa sangka, kualitas konten DVD yang lebih baik dari kaset VHS, juga harga pemutar DVD yang menurun justru membuat permintaan langganan DVD meningkat pesat.
Melansir laman Wave, Netflix tak hanya menjelma sebagai pionir layanan pengiriman DVD, tapi juga berfokus mengembangkan teknologinya, yang mengarahkannya pada hak paten atas layanan sewa berlangganan atau subscription rental service dan beberapa ekstensi lainnya.
Karena adopsi yang cepat dari layanan pengiriman DVD, Wave mencatat Netflix berhasil membukukan keuntungan sebesar USD 6,5 juta (setara dengan Rp99 miliar) pada tahun 2003. Keuntungan tahunan Netflix bahkan dengan cepat meningkat menjadi USD 49 juta (setara dengan Rp753 miliar) pada tahun berikutnya.
Pada sisi lain, Blockbuster Video yang pada awalnya meremehkan inovasi Netflix turut mengadopsi model bisnis yang sama dengan menyediakan layanan pengiriman DVD pada tahun 2004. Meski sempat sukses dan mencapai 2 juta pengiriman pada 2006, Netflix telah mulai mengeksplorasi model bisnis lain yang bisa membuatnya tetap unggul. Saat itulah konsep platform streaming video lahir.
Streaming Video Netflix dan Akhir Hayat Blockbuster Video
Tak berpuas dengan kesuksesan layanan pengiriman DVD, Netflix beralih dari disruptive innovation dengan menghadirkan inovasi radikal atau radical innovation dalam hal pengalaman menonton atau user experience dengan digitalisasi yang dibawanya.
Pada Januari 2007, Netflix meluncurkan layanan streaming yang memperkenalkan video on demand melalui internet. Walau film yang Netflix tawarkan saat itu hanya berjumlah 1.000 dan jauh lebih kecil dari koleksi film yang tersedia dalam format DVD, dan kecepatan internet masih menjadi penghalang, kebiasaan streaming video melalui YouTube memainkan peran positif bagi model bisnis yang Netflix ciptakan.
Siapa sangka, penetrasi internet yang cepat, dan adopsi smart tv yang cepat justru berdampak positif dalam peningkatan difusi layanan streaming. Tak hanya menyediakan judul-judul film yang sudah ada, Netflix bahkan memperluas sayap bisnisnya dengan membuat perjanjian bersama studio produksi dan memproduksi kontennya sendiri.
Tumbuhnya layanan streaming tidak hanya membuat Netflix memimpin gelombang revolusi berikutnya, tapi menghancurkan permintaan untuk penyewaan video dan pengiriman DVD. Meningkatnya layanan streaming Netflix bahkan tidak memberikan waktu bagi Blockbuster Video untuk beralih dan membuatnya terpaksa menutup ribuan cabang.
Pada tahun 2012 hanya ada 1.503 toko cabang Blockbuster Video yang masih beroperasi. Setahun kemudian, tinggal 787 toko yang beroperasi. Jumlah ini terus berkurang menjadi hanya 54 toko pada 2014. Blockbuster Video yang dulu bernilai USD 8,4 miliar (setara dengan Rp129 miliar) pada 1994, kini telah bangkrut. menurut laporan The Guardian, hanya ada satu cabang Blockbuster Video yang masih beroperasi di tahun ini. Sementara itu, Netflix justru mengantongi pendapatan bersih senilai USD 5,1 miliar (setara dengan Rp75,5 triliun) pada 2021.
Cara Netflix Berinovasi dengan Menyelesaikan Masalah Pelanggan
Dari kisah kesuksesan Netflix dan kegagalan Blockbuster, kita belajar betapa inovasi dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi bisnis. Terutama jika inovasi yang kita butuhkan benar-benar mampu menyelesaikan masalah konsumen atau human-centered design.
Dalam kasus, alih-alih mencoba merebut segmen pelanggan Blockbuster dengan model bisnis yang sama, Netflix justru memanfaatkan kemunculan DVD untuk melayani segmen pasar yang selama ini dikesampingkan Blockbuster Video. Mereka adalah pelanggan yang tidak gemar menonton film yang baru dirilis.
Jika Blockbuster Video unggul berkat kuantitas toko yang tersebar di penjuru Amerika Serikat, Netflix justru berupaya meningkatkan pengalaman menonton konsumen. Layanan Netflix juga berhasil menggapai konsumen yang tak terlayani oleh Blockbuster Video.
Netflix pun terus berupaya meningkatkan pengalaman pelanggan dalam menonton dengan sistem rekomendasinya yang canggih. Diberi nama Cinematch, algoritma ini merekomendasikan judul film yang mungkin ingin pelanggan pesan selanjutnya, yang didasarkan pada pilihan dan peringkat pemirsa.
Sekali lagi, Netflix memanfaatkan perpaduan teknologi dan kesadaran mengetahui kebutuhan pelanggan untuk memuaskan penikmat film. Dengan layanan streaming, Netflix semakin memudahkan pecinta film untuk menikmati ribuan judul film dan acara televisi hanya dari gawai mereka tanpa lagi harus mengunjungi toko rental atau menunggu pesanan DVD tiba.
Pengertian Human-centered Design
Seperti namanya, human-centered design adalah sebuah pendekatan untuk mendesain produk yang berfokus pada manusia atau yang lebih spesifik: pengguna. Dengan kata lain, pendekatan ini menuntut desainer atau produsen untuk merancang sebuah produk atau layanan sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas manusia sebagai penggunanya.
Tak heran, pendekatan ini dimulai dengan memahami pengguna untuk benar-benar mengetahui kebutuhan mereka. Meski memahami pengguna dapat dilakukan dengan beragam metode, mulai dari wawancara, observasi, atau menggabungkan keduanya, semuanya akan sia-sia tanpa adanya empati. Kondisi inilah yang juga menjadi keyakinan Innovesia, sebuah perusahaan konsultasi yang berfokus pada inovasi.
Innovesia meyakini, inovasi dimulai dari kebutuhan, pola pikir, dan empati manusia dan bukanlah dimulai dari produk, teknologi, atau fitur. Karena sejatinya, sebuah kebaruan tidak akan mencapai esensinya jika tidak ada yang membutuhkannya.
Innovesia sendiri telah membantu lebih dari 100 perusahaan, pemerintah dan institusi pendidikan untuk menerapkan pendekatan design thinking dan human centered design, melalui workshop, konsultasi strategis, open innovation dan incubation.
Dengan memahami kebutuhan penggunanya, Innovesia percaya, baik bisnis, instansi pemerintah, maupun institusi pendidikan mampu berinovasi dengan menciptakan produk, layanan, kebijakan dan kurikulum yang dibutuhkan oleh target pengguna mereka.