Selesaikan Masalah Pengguna Taksi, Uber jadi Pemimpin Layanan Transportasi Amerika

Siapa yang tak mengenal Uber, perusahaan moda transportasi asal Amerika Serikat (AS) itu tak hanya mampu mengubah cara konsumen bepergian, bahkan mengubah lanskap industri taksi yang sudah mapan di kota-kota metropolitan di AS. Padahal Uber tidak memiliki kendaraan juga tidak mempekerjakan pengemudi.

Alih-alih mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan transportasi atau logistik, Uber justru menyebut diri mereka sebagai perusahaan teknologi dengan nama Uber Technologies Inc. Bisnis Uber memang mengandalkan koordinasi peer-to-peer antara pengemudi dan penumpang yang dimungkinkan oleh perangkat lunak atau software canggih. Lantas bagaimana cara Uber memiliki kapitalisasi pasar sebesar USD 45,34 miliar (Rp700 triliun) pada 2022.

Berangkat dari Kebutuhan

Ide awal Uber bermula pada 2008 ketika kedua founder-nya, Travis Kalanick dan Garrett Camp, menghadiri konferensi teknologi tahunan LeWeb yang diadakan di Paris, Prancis. Kala itu, keduanya kesulitan mencari taksi di tengah gempuran cuaca dingin Paris. Keduanya lantas tersadar bahwa pemikiran itu merupakan suatu kebutuhan akan moda transportasi yang tidak atau belum terpenuhi.

Camp yang terus berkutat pada pemikiran itu lantas membeli domain dengan nama UberCab.com. Bisnis pertama Uber memang menyasar layanan taksi mewah yang dapat dipesan melalui aplikasi. Ide itu mulanya dieksekusi oleh Camp sendiri ketika ia masih menjadi CEO StumbleUpon. Barulah pada 2010, Kalanick bergabung dengan UberCab atas ajakan Camp.

Misi Uber adalah membuat transportasi mudah diakses dan mereka ingin melakukannya dengan cara yang berbeda. Berbekal aplikasi, pengguna dapat memesan tumpangan hanya melalui smartphone atau gawai mereka. Teknologi GPS yang disematkan pada aplikasi lantas mengidentifikasi lokasi pengendara. Kesederhanaan inilah yang membuat Uber begitu populer bahkan di awal kemunculannya. Sejak diluncurkan perdana pada tahun 2010, Uber berhasil mengumpulkan lebih dari USD 25 miliar pendanaan dari Venture Capital.

Kesuksesan Uber tentunya tidak lepas dari keberhasilan mereka mengidentifikasi masalah nyata yang dihadapi konsumen dan mencari tahu bagaimana teknologi dapat menyelesaikannya. Sebelumnya, waktu dan lokasi merupakan masalah utama dalam layanan taksi. Pasalnya, taksi hanya tersedia di kota-kota besar. Konsumen juga harus pergi ke daerah-daerah ramai atau pinggir jalan untuk mencari taksi. Walau bisa dipesan melalui telepon, konsumen harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk menunggu.

Di sanalah Uber hadir membawa kemudahan bagi konsumen untuk memesan tumpangan dari mana saja dan kapan saja. Uber menghubungkan penumpang yang menginginkan pengalaman bebas repot berkendara dan pengemudi yang menginginkan fleksibilitas atau penghasilan tambahan. Hanya dalam setahun, Uber diluncurkan secara internasional di Paris, Prancis.

Menjangkau Lebih Banyak Konsumen

Tidak seperti layanan taksi yang terbentur regulasi transportasi yang ketat, Uber dengan cepat memanfaatkan kurangnya regulasi untuk layanan rideshare digital di sebagian besar negara. Hal ini jelas membantu mereka melakukan lompatan yang lebih besar dalam pangsa pasar dengan meluncurkan layanan mereka di berbagai negara. Meningkatnya kepemilikan smartphone negara-negara berkembang, juga memberi Uber keuntungan tambahan dalam penetrasi pasar di banyak negara tempat mereka beroperasi.

Pada sisi lain, Uber juga memperhitungkan pengalaman lokal calon pelanggan di berbagai negara. Saat Uber berkembang, Uber menargetkan calon konsumen mereka berdasarkan wilayah dan kebutuhan mendesak. Di negara-negara seperti India dan Thailand misalnya, Uber memperluas penawaran mereka dengan layanan becak motor dan sepeda motor, yang merupakan pilihan transportasi yang lebih cepat untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di dua negara itu.

Di Indonesia sendiri Uber menawarkan layanan taksi dan ojek online, yang membawanya ke persaingan ketat. Jika di Amerika Serikat Uber merupakan pemain utama yang membawa perubahan besar dalam layanan transportasi, Uber bersaing dengan kompetitor seperti Gojek dan Grab di Indonesia. Untuk menghadapi persaingan, Uber melakukan manuver dengan menghadirkan ragam potongan harga. 

Alih-alih memenangkan kompetisi, Uber justru merugi. Dalam laporan kinerja keuangan kuartalan yang berakhir pada Juni 2019, seperti yang dilaporkan CNBC, Uber melaporkan kerugian senilai USD 1,3 miliar (sekitar Rp20 triliun) akibat memberikan potongan harga terhadap pengguna atau dengan kata lain, membakar duit. Besaran kerugian ini tak hanya karena aktivitas bakar duit di Indonesia, tapi juga sejumlah negara seperti Rusia, China dan India.

Pada sisi lain, Uber juga dihadapkan dengan adanya peraturan penentuan tarif minimum dan maksimum bagi penyedia transportasi online di Indonesia. Selain itu, Uber juga menghadapi kebijakan pembatasan jumlah kendaraan, uji lisensi kendaraan, dan keharusan membentuk korporasi yang menghambat operasional bisnisnya. Uber tentu tak perlu menghadapi hal ini di Amerika Serikat mengingat ketika Uber pertama kali berdiri, AS belum memiliki regulasi yang mengatur berbagai hal tersebut.

Menghadapi Kegagalan dengan Berinovasi

Menghadapi kerugian dalam layanan transportasi yang diperparah pandemi Covid-19, Uber memilih memperluas layanan pesan antar miliknya. Pada 2020, Uber mengakuisisi aplikasi pengiriman makanan online Postmates, dan membuat Uber Eats memantapkan dirinya sebagai pemimpin kategori di Los Angeles dan Kota New York. Uber juga mengembangkan bisnisnya dengan menambah layanan pengiriman bahan makanan, alkohol, dan banyak lagi.

Hingga kini, Uber terus meningkatkan dan menyempurnakan teknologi mereka untuk menyediakan perjalanan yang aman dan andal. Uber juga mengembangkan teknologi ini untuk mengaktifkan layanan baru seperti uberPOOL, yang memungkinkan pengendara pergi ke arah yang sama untuk berbagi perjalanan. Layanan ini jelas membantu memangkas biaya perjalanan dan mengurangi kemacetan dari waktu ke waktu.

Tahun ini, Uber mengatakan akan mulai mengizinkan pengemudi untuk melihat rincian perjalanan, seperti tujuan dan harga, sebelum menerima penumpang. Dengan begitu, Uber memberikan lebih banyak fleksibilitas dan dukungan kepada pengemudi. Menurut laporan The New York Times, Uber mencatatkan peningkatan pendaftaran pengemudi baru sebesar 76% di AS. Tentu angka ini juga tak lepas dari lonjakan inflasi yang mendorong orang-orang untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Dalam laman resmi perusahaan, Uber mengumumkan telah membuat model uji mobil self-driving, yang saat ini tengah diuji coba. Meskipun masih dalam tahap uji coba, Uber meyakini inovasi ini akan mampu mengurangi kemacetan dan membuat transportasi lebih terjangkau serta mudah diakses.

Pentingnya Inovasi untuk Keberlangsungan Bisnis

Dari kasus Uber, kita belajar bahwa inovasi amat penting bagi kelangsungan suatu bisnis. Amat mustahil bagi Uber untuk terus bertahan jika hanya mengandalkan inovasi awal mereka, yakni taksi online. Pasalnya, suatu inovasi yang sukses pasti akan diikuti dengan seribu pengikut.

Kesuksesan Uber juga memberi contoh nyata bagaimana industri yang mapan seperti taksi dapat tertinggal karena menutup mata pada peluang inovasi. Persaingan Uber dan taksi memperlihatkan bagaimana inovasi menciptakan peluang besar bagi pemain baru, sekaligus ancaman nyata bagi perusahaan besar, bahkan yang telah memonopoli industri sekalipun.

Mengingat pentingnya inovasi, Innovesia, perusahaan konsultasi yang berfokus pada inovasi menawarkan kesempatan bagi siapa saja untuk memperluas bisnis melalui inovasi. Bahkan dengan metode design thinking yang dianutnya, Innovesia dapat membantu perusahaan mencari peluang bisnis melalui proses Immersion terhadap pengguna. Dengan memahami pengguna, inovasi yang dilakukan bisnis tentu sesuai dengan kebutuhan pasar.

Misalnya, saat Innovesia dipercaya Kompas, salah satu media massa ternama di Indonesia, dalam menyelenggarakan lokakarya bertajuk “Co-Creation Workshop and Synthesizing with Design Thinking”. Lokakarya yang ditujukan kepada karyawan internal Kompas agar dapat meningkatkan kompetensi karyawan dalam menghadapi disrupsi digital yang berdampak pada media massa.

Pada lokakarya kali ini, Innovesia membantu karyawan Kompas meningkatkan kemampuan mereka untuk menerjemahkan situasi dan kondisi menjadi permasalahan strategis, kemudian mencari solusi berdasarkan kebutuhan target pengguna Kompas. Innovesia juga mengajarkan bagaimana membangun rapid prototyping untuk mengubah ide-ide kreatif mereka menjadi solusi nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • All Post
  • Design Thinking
  • Edukasi
  • Eksklusif
  • Gaya Hidup
  • Innovation
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Open Innovation
  • Otomotif
  • Pemerintahan
  • Pertambangan
  • Teknologi
  • Uncategorized
  • Workshop

Investing in Innovation

Everyone can innovate, including you. We help people and organizations to innovate in the era of Industrial Revolution 4.0

building

Design Thinking

Newsletter

About Us

PT Investasi Inovasi Indonesia

innovesia.co.id

designthinking.id

Business Address:

Equity Tower, 35th Floor, SCBD Lot 9

Jl. Jendral Sudirman, Kav 52-53, Jakarta 12910

P: +62 21 2939 8903