Mengingat keberlangsungan bisnis dewasa ini kian ditentukan oleh inovasi yang mereka lakukan, design thinking telah menjelma menjadi sebuah perangkat yang mengubah cara perusahaan melihat dan memecahkan masalah. Dari kesehatan hingga teknologi, design thinking telah mengilhami pembuatan beragam produk dan layanan yang berpusat pada manusia di berbagai industri.
Bahkan, mulai dari perusahaan rintisan atau startup, organisasi nirlaba, hingga perusahaan besar sekalipun telah mengadopsi pendekatan design thinking yang mengarahkan mereka pada ide-ide inovatif sesuai kebutuhan penggunanya. Sebut saja, perusahaan teknologi medis multinasional Amerika GE HealthCare, raksasa platform streaming dunia Netflix, mesin pencari terbesar Google, dan masih banyak lagi. Mereka terkenal kerap mengadopsi design thinking untuk mengembangkan solusi yang efektif ketika dihadapkan dengan masalah bisnis.
Tapi, apa yang membuat design thinking begitu berguna bagi keberlangsungan bisnis?
Tak seperti metode inovasi lainnya, design thinking mengedepankan pola pikir untuk berempati dengan masalah yang berfokus pada manusia, untuk kemudian menemukan pendekatan dan ide-ide inovatif melalui visualisasi dan prototype. Dengan begitu, apa yang dihasilkan oleh design thinking baik produk maupun layanan sudah pasti memenuhi kebutuhan pengguna.
Ketika kebutuhannya terpenuhi, pengguna akan berubah menjadi pelanggan setia. Sebuah laporan bertajuk State of the Connected Customer, yang mempelajari kebiasaan pembelian 17.000 konsumen mencatat, 91% konsumen cenderung melakukan pembelian berulang setelah mendapatkan pengalaman positif.
Selain itu, design thinking menekankan pada siklus berpikir terus-menerus, dengan menyediakan ruang untuk improvisasi secara kontinyu dalam berempati-uji-kegagalan-sukses-empati dan sebagainya. Proses yang berulang inilah yang mampu meningkatkan kemampuan seseorang untuk mempertanyakan masalah, meragukan asumsi dan implikasinya. Atas dasar itu, penerapan design thinking mampu mendorong perusahaan untuk menciptakan solusi yang memenuhi kebutuhan nyata pelanggan mereka.
Berikut 7 produk dan jasa yang diciptakan menggunakan pendekatan design thinking:
1. Kebun Agrowisata Pulung Kencana
Tidak memiliki sumber daya alam dan destinasi pariwisata yang kompetitif, Bupati Tulang Bawang Barat atau Tubaba periode 2014-2022, Umar Ahmad tergerak meningkatkan kompetensi masyarakat Kabupaten Tubaba melalui lokakarya design thinking bersama Innovesia. Melibatkan 1.000 penduduk Tubaba, Umar menyadari banyak hal yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kompetensi masyarakat Tubaba, mulai dari kesehatan, pendidikan gratis, pertanian dan masih banyak lagi.

Dari 50 ide inovasi yang terkumpul dan dibuat menjadi prototype, Umar mewujudkan salah satunya, yaitu Kebun Agrowisata Pulung Kencana yang edukatif. Di dalam taman agrowisata ini dikembangkan berbagai jenis tanaman buah-buahan unggul. Kebun Agrowisata Pulung Kencana juga menjadi lokasi riset dan praktik pertanian tentang berbagai tanaman, yang pada akhirnya akan dilepaskan ke petani untuk dikembangkan lebih lanjut.
2. MASKIT
Tingginya angka kasus TBC di Indonesia, empat sivitas akademika Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) menciptakan masker bernama MASKIT atau Mask in Tech, yang mampu mencegah penularan TBC.
Dengan bimbingan Direktorat dan Inovasi Bisnis (DIIB) Universitas Indonesia serta Innovesia, keempat mahasiswa menciptakan terobosan masker dengan filter berteknologi karbon aktif dan nano silver yang dapat diganti dan efektif membunuh bakteri dan polusi lebih dari 90 persen.

Selain itu, Maskit memiliki pilihan warna dan motif beragam yang menjadi nilai tambahnya. Maskit pun sudah memiliki izin edar penjualan dan telah disertifikasi oleh Kementerian Kesehatan. Pada 2019, Maskit mencatatkan penjualan rutin hingga 2.500 buah per bulannya. Inovasi ini bahkan berhasil menyabet medali emas dalam ajang Indonesian International Invention Festival 2019 yang berlangsung pada 22–25 April di Malang, Jawa Timur.
3. Uber Eats
Memanfaatkan kemajuan teknologi, Uber Eats menyajikan cara baru pesan-antar makanan yang lebih efisien di lebih dari 80 kota. Uber Eats tak hanya menghubungkan konsumen dan restoran melalui layanan pengiriman Uber, tapi juga membantu restoran membangun bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan.
Menyadari bahwa layanan yang diciptakannya harus mampu memenuhi kebutuhan pelanggan di setiap kota yang berbeda-beda, desainer Uber Eats secara teratur melakukan perjalanan ke pasar yang berbeda untuk merasakan budaya makanan, dan mempelajari infrastruktur transportasi dan logistik. Tim desainer juga mewawancarai mitra pengiriman, pekerja restoran, dan konsumen untuk membangun pemahaman menyeluruh tentang berbagai pasar dan pelanggan Uber Eats.
Tak hanya itu, Uber melalui program Fireside chats secara rutin mengundang mitra driver, pekerja restoran, dan konsumen ke kantor mereka untuk mendiskusikan pengalaman mereka dengan Uber Eats. Sesi ini memberikan Uber cara yang mudah untuk berempati dengan pelanggannya.
4. Airbnb
Pada tahun 2009, Airbnb nyaris bangkrut dengan hanya mampu menghasilkan USD 200 per minggu. Kondisi ini membuat pendiri Airbnb memutar otak mereka. Suatu sore, tim meneliti hasil pencarian mereka untuk daftar host atau penyedia kamar kota New York, Amerika Serikat. Dari sana, sang founder menyadari betapa buruknya kualitas foto-foto kamar yang tersedia.
Ketika Airbnb menyadari bahwa orang-orang skeptis terhadap akomodasi yang tersedia, mereka mengunjungi semua mitra di New York, berbicara dengan tuan rumah dan menyadari bahwa kualitas foto yang buruk memang menjadi masalah bisnis mereka.
Dari sana, Airbnb mengirim tiga orang untuk mengunjungi seluruh daftar properti pelanggan, dan membantu mereka mengambil foto berkualitas tinggi. Hasilnya, pendapatan mingguan Airbnb meningkat menjadi USD 400 per minggu. Angka ini sekaligus menjadi peningkatan keuangan pertama yang dilihat perusahaan dalam lebih dari delapan bulan. Hingga kini, Airbnb terus mendorong karyawannya untuk menguji ide dan memahami orang yang menggunakan platform mereka.
5. GE Healthcare
Berempati terhadap ketakutan anak-anak akan proses pemeriksaan medis di rumah sakit, khususnya dengan mesin MRI, Doug Dietz seorang arsitek yang telah lama bekerja di GE HealthCare, mengembangkan desain MRI yang ramah anak.
Setelah riset pengguna yang ekstensif, dan uji coba rumah sakit, GE HealthCare meluncurkan serangkaian MRI bertema petualangan yang dinamakan “The Adventure Series”. Doug Dietz mengubah mesin MRI dari yang menyeramkan menjadi bernuansa kapal bajak laut dengan pemandangan pantai, istana pasir, dan lautan.

Berkat solusi kreatifnya, skor kepuasan pasien naik 90%. Anak-anak tidak menderita kecemasan lagi. Mesin MRI ramah anak itu juga memudahkan anak-anak untuk tetap diam selama prosedur, yang pada gilirannya mencegah dokter untuk mengulangi pemindaian. Artinya, lebih banyak pasien yang dapat dipindai setiap harinya.
6. Voting Solutions for All People (VSAP)
Sebagai yurisdiksi pemungutan suara terbesar di Amerika Serikat, Los Angeles, menghadapi masalah ketika sistem pemungutan suara yang dirancang pada tahun 1960-an, mulai ketinggalan zaman dan rentan. Pemerintah LA kemudian berkolaborasi dengan Digital Foundry, Cambridge Consultants, dan IDEO, menciptakan perangkat pemungutan suara baru yang intuitif.

Dengan memahami seluruh kebutuhan penduduk dari semua latar belakang, termasuk orang dengan penglihatan rendah atau tuli, menggunakan kursi roda, keterbatasan bahasa dan ketidakmampuan belajar, tim menciptakan mesin pemungutan suara yang dapat disesuaikan untuk pengalaman pengguna yang berbeda.
Mesin yang dilengkapi dengan layar sentuh itu mampu menavigasi pemilih melalui proses pemilihan, lalu memberikan surat suara cetak yang ditempatkan ke dalam kotak suara terintegrasi. Ada 11 bahasa yang didukung, dengan instruksi audio bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan. Menurut NBC News, VSAP mampu memberikan pengalaman memilih yang mendukung kesetaraan akses, memenuhi kebutuhan pemilih saat ini, dan dapat diadaptasi dari waktu ke waktu.
7. Bedsider
Kehamilan yang tidak direncanakan telah menjadi masalah besar di kalangan remaja berusia 18 hingga 29 tahun di Amerika Serikat. Mengatasi masalah ini, National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy atau yang kini dikenal dengan Power to Decide bersama IDEO berupaya mengidentifikasi kebutuhan akan dukungan kontrasepsi yang komprehensif.
Tim mewawancarai wanita dalam demografi target, berbicara dengan dokter, konselor, dan ahli lainnya dengan berbagai pendapat tentang birth control. Upaya penelitian dan pembuatan prototype lantas mengarah pada Bedsider, sebuah jaringan dukungan perencanaan kehamilan daring untuk wanita 18-29 tahun. Bedsider bekerja untuk memastikan bahwa setiap anak muda memiliki kekuatan untuk memutuskan apakah, kapan, dan dalam keadaan apa untuk hamil. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kesempatan mereka untuk mengejar masa depan yang diinginkan.
Hasilnya, Bedsider terbukti mampu mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Di mana dari seluruh wanita berusia 18 hingga 29 tahun yang berpartisipasi dalam uji coba terkontrol acak selama setahun, wanita yang berada di dalam kelompok Bedsider memiliki 2,54 kali lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan hubungan seks tanpa pengaman.