Menurut Mayo Clinic, sekitar 1 dari 3 orang di Amerika Serikat (AS) menderita penyakit yang tidak terdiagnosis. Artinya, banyak pasien yang dirujuk dari dokter ke dokter tanpa benar-benar mendapatkan diagnosis yang akurat mengenai kondisi atau penyakit mereka. Begitu juga yang dialami Sarah.
Perempuan asal Michigan, AS, itu harus menghabiskan tahun ke tahun rawat inap di rumah sakit tanpa mengetahui pasti penyakit apa yang sebenarnya ia derita, sampai akhirnya ia memutuskan berkonsultasi online melalui CrowdMed, sebuah platform layanan kesehatan daring yang mempertemukan pasien dengan ribuan pakar kesehatan.
Semua bermula ketika Sarah menyelesaikan perjalanan backpacking di Upper Peninsula, sebuah kawasan hutan di Michigan pada 2009 silam. Selepas aktivitas beratnya itu, perempuan yang memiliki nama lengkap Sarah Sheridan itu mulai merasa terkena flu. Namun, kesehatannya terus menurun hingga membuatnya kehilangan banyak berat badan hingga 13 kilogram.
Sarah juga selalu merasakan kelelahan dan rasa sakit yang luar biasa di persendiannya. Semakin lama, Sarah merasa sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih. Saat itu, ia menyadari bahwa tubuhnya tidak baik-baik saja dan jelas ada sesuatu yang tengah terjadi.
Selama lebih dari tiga tahun, Sarah bolak-balik rawat inap di rumah sakit. Ia juga melakukan banyak tes kesehatan yang tak terhitung jumlahnya. Entah berapa ratusan ribu dollar AS telah ia dan keluarga keluarkan untuk membayar tagihan medis yang membengkak. Meski begitu, Sarah dan keluarga tak kunjung mendapatkan jawaban pasti atas penyakit apa yang sebenarnya ia derita.
Setelah banyaknya tes kesehatan yang ia lakukan, dokter memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan tes kesehatan lebih lanjut hingga Sarah menjalani evaluasi psikiatri. Artinya, dokter mengira Sarah hanya membual atau membayangkan semua gejala yang ia alami selama ini. Dengan kondisi yang memburuk, Sarah merasa semakin putus asa.
Pertemuan yang Mengarah ke Diagnosis yang Mengejutkan
Kondisi Sarah masih tak jelas hingga ia secara kebetulan bertemu dengan seorang wanita yang menderita penyakit Lyme, sebuah infeksi bakteri yang dapat menyebar ke manusia melalui kutu yang terinfeksi. Ketika Sarah bercerita terkait kondisi kesehatannya, sang wanita itu merasa apa yang dialami Sarah mirip dengan gejala penyakit Lyme yang ia derita.
Sarah sebenarnya sudah pernah menjalani tes darah awal untuk penyakit Lyme dan hasilnya negatif. Terlebih, Sarah juga tidak menunjukkan ruam pada kulit yang merupakan gejala utama penyakit ini. Meski begitu, wanita yang ia temui tetap merekomendasikannya ke laboratorium penelitian yang berspesialisasi dalam penyakit Lyme.
Pada sisi lain, ayah sarah yang kala itu tengah mengajar kewirausahaan di University of Michigan, bertemu dengan seorang investor yang merekomendasikan ayah Sarah untuk menyerahkan kasus anaknya yang sulit guna memvalidasi atau menguji sistem awal CrowdMed, yang masih dalam tahap pengembangan.
Sekitar 100 tenaga kesehatan berpartisipasi dalam kasus Sarah. Mereka bekerja dari informasi medis yang sama persis seperti yang Sarah bagikan kepada dokternya di rumah sakit.
Hebatnya, metode crowdsourcing yang digunakan CrowdMed mencapai kesimpulan diagnostik hanya dalam beberapa hari, yakni Sarah menderita penyakit Lyme. Temuan ini persis dengan hasil tes komprehensif yang Sarah jalankan di laboratorium yang berspesialis di penyakit Lyme.
Cara Kerja CrowdMed yang Inovatif
CrowdMed dalam hal ini mampu menyelesaikan masalah terbesar pada sistem perawatan kesehatan saat ini, yaitu silo-nya keahlian medis. Keahlian medis yang silo ini adalah keengganan untuk berbagi informasi dengan tenaga kesehatan dari divisi yang berbeda. Padahal, dengan lebih dari 13.000 penyakit dan gangguan yang diketahui, sangat tidak mungkin seorang dokter mengetahui setiap kemungkinan kondisi yang terkait dengan setiap rangkaian gejala pasien.
CrowdMed berupaya menyelesaikan masalah ini dengan memanfaatkan crowdsourcing tenaga kesehatan untuk membantu menyelesaikan kasus medis yang sulit dengan cepat dan akurat secara daring. CrowdMed memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman lebih dari 20.000 dokter, perawat, ilmuwan, ahli naturopati, dan ahli kesehatan lainnya untuk berkonsultasi dan memberi nasihat tentang suatu kasus medis.
Pasien dengan misteri medis yang belum terpecahkan dapat mengunggah gejala mereka ke CrowdMed. Pasien kemudian akan diminta menjawab serangkaian pertanyaan medis yang komprehensif, mengunggah hasil tes diagnostik dan pencitraan yang relevan. Kemudian komunitas CrowdMed yang terdiri dari ribuan tenaga medis yang berkolaborasi akan memecahkan kasus kesehatan melalui berbagai fitur di CrowdMed. Berdasarkan jawaban para ahli, algoritma CrowdMed nantinya akan menetapkan probabilitas untuk setiap diagnosis dan solusi.
Pasien kemudian dapat menggunakan hasil analisa CrowdMed dalam konsultasi dengan dokter atau penyedia layanan kesehatan lainnya untuk akhirnya mendapatkan jawaban atas kondisi mereka dan bagaimana pengobatan dapat dilakukan. CrowdMed jelas bermanfaat bagi orang-orang dengan kasus kesehatan kompleks atau langka melalui pengarahan yang lebih dekat pada diagnosis dan pengobatan yang tepat.
Bermula dari Kebutuhan Mendesak
Berdirinya CrowdMed bermula ketika pendirinya, Jared Heyman, dihadapkan pada kenyataan sulit ketika sang adik tak kunjung mendapat jawaban pasti atas penyakit yang ia derita, terlepas dari tiga tahun waktu berjuang yang telah dihabiskan. Sang adik, Carly jelas menderita kondisi medis yang serius. Namun, meski sudah menemui hampir 20 dokter dengan berbagai spesialis dan melakukan tes kesehatan yang tak terhitung jumlahnya, Carly masih tidak memiliki penjelasan untuk gejala yang melemahkan tubuhnya.
Carly pernah menjadi remaja yang bersemangat dan sehat, tetapi saat itu ia hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur hingga membuatnya putus asa. Akhirnya, setelah melalui kesempatan langka untuk berkonsultasi dengan tim pakar medis interdisipliner terkemuka dari Institut Kesehatan Nasional AS, Carly menerima jawaban. Ia didiagnosa menderita Fragile X-associated primary ovarian insufficiency (FXPOI), sebuah mutasi genetik langka dengan rasio satu banding 15.000 orang.
Perjuangan Carly inilah yang mendorong Jared Heyman mengembangkan cara membantu orang lain yang sangat membutuhkan jawaban dan merasa tidak didengarkan oleh sistem perawatan kesehatan tradisional. Kasus medis Carly akhirnya diselesaikan dengan kolaborasi tim ahli medis interdisipliner, karenanya CrowdMed membawa model ini ke tingkat selanjutnya.
Heyman menggunakan metode crowdsourcing yang dipatenkan dan platform daring yang mengumpulkan kecerdasan kolektif dan memfasilitasi kolaborasi para pakar medis. Dikombinasikan dengan analitik canggih, CrowdMed menghasilkan saran diagnostik dan solusi yang disajikan kepada pasien dalam waktu singkat.
Dengan metode crowdsourcing yang inovatif ini, CrowdMed telah menyelesaikan lebih dari 1.000 kasus medis dengan tingkat keberhasilan lebih dari 60%, untuk pasien yang rata-rata telah sakit selama 7 tahun, mengunjungi 8 dokter, dan mengeluarkan biaya pengobatan lebih dari USD 70.000 (Rp1 miliar) sebelum akhirnya berkonsultasi di CrowdMed. Adapun waktu penyelesaian kasus rata-rata adalah 2-3 bulan dan biayanya kurang dari USD 500 (Rp7,7 juta) per kasus.
“Jika CrowdMed sudah ada saat saya pertama kali sakit, itu bisa mencegah 3 tahun berjuang untuk diagnosis. Ketika saya menjalani satu-satunya tes Lyme saya dan hasilnya negatif, saya bahkan tidak memikirkannya lagi. Jika saya lebih dulu melihat hasil CrowdMed, kami akan melakukan lebih banyak tes kesehatan terkait Lyme dan fokus pada penyakit itu,” ujar Sarah seperti dilansir dari laman CrowdMed.
Mengenal Metode Crowdsourcing yang Digunakan CrowdMed
Dalam konteks inovasi, crowdsourcing merupakan jenis open innovation atau inovasi terbuka yang memungkinkan perusahaan menggunakan sumber daya dari luar untuk memunculkan ide-ide inovasi. Lebih jelasnya, crowdsourcing ditujukan untuk menghimpun banyak orang demi mencapai suatu tujuan.
Dalam kasus CrowdMed, mengetahui pentingnya kolaborasi dalam menuntaskan masalah dalam layanan kesehatan tradisional. CrowdMed memanfaatkan pengetahuan ribuan tenaga medis dari berbagai spesialis dan latar belakang untuk berkolaborasi, menuangkan perspektif mereka dalam membantu diagnosa kasus kesehatan dengan lebih akurat.
Seperti Heyman, Innovesia yang merupakan pelopor ekosistem open innovation di Indonesia percaya bahwa kolaborasi mampu menghasilkan solusi atas segala permasalahan, seraya menghemat waktu dan biaya. Pasalnya, kolaborasi melalui open innovation mampu menawarkan berbagai perspektif yang membantu memecahkan masalah dengan lebih baik.
Dengan kepercayaan ini, Innovesia telah membantu sejumlah mitra dari berbagai latar belakang, tak terkecuali di sektor pelayanan kesehatan untuk menghasilkan solusi inovatif melalui kolaborasi.
Pada 2022 misalnya, Innovesia dipercaya UNICEF menyelenggarakan “Youth for Health Innovation Challenge” untuk mengajak remaja Indonesia khususnya di Aceh dan Bandung dalam mengatasi tantangan kesehatan di masa depan, termasuk faktor risiko penyakit tidak menular akibat kesehatan mental, bahaya merokok dan polusi udara yang berdampak pada perubahan iklim.
Innovesia juga dipercaya memperkenalkan open innovation dalam Evidence Summit 2017, sebuah program kajian mengenai bagaimana menurunkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia dengan mengumpulkan seluruh bukti permasalahan di setiap daerah.
Sebagai informasi, Evidence Summit diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan JPHIEGO sebuah lembaga layanan kesehatan internasional yang mengkhususkan diri dalam kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Acara ini juga dihadiri para pemangku kepentingan yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, lembaga penelitian, sektor swasta, lembaga donor atau bantuan, dan berbagai pihak lainnya untuk berbagi dan menyajikan data aktual.