Hampir Bangkrut, Design Thinking Bantu Airbnb Pecahkan Masalah Stagnasi Bisnis

Di tengah isu resesi, Airbnb justru sukses mencatatkan pertumbuhan pendapatan hingga USD 1,8 miliar (Rp26,54 triliun) pada kuartal pertama (Q1) 2023. Pionir marketplace penginapan yang menawarkan berbagai pengalaman menginap itu juga berhasil memecahkan rekor jumlah pemesanan tertinggi dengan lebih dari 120 juta pemesanan pada triwulan pertama. Namun terlepas dari kesuksesannya saat ini, Airbnb mungkin telah bangkrut jika tidak berusaha memahami kebutuhan penggunanya dengan tepat.

Sejak berdiri pada 2008, Airbnb memang terus mencatatkan pertumbuhan positif. Pada 2020, ketika perusahaan pertama kali melantai di bursa saham, Airbnb melakukan penawaran umum perdana dengan harga USD 146 (Rp1,4 juta) per saham. Angka ini dua kali dari harga IPO yang membuat nilai perusahaan melejit hingga lebih dari USD 100 miliar (Rp1,017 triliun).

CNBC mencatat, nilai Airbnb kala itu bahkan membuatnya berhasil mengalahkan valuasi Marriot dan Hilton, dua perusahaan hotel ternama asal Amerika Serikat. Bahkan jika valuasi kedua perusahaan itu digabungkan, nilainya masih kalah dari valuasi Airbnb. Akan tetapi, kisah kesuksesan Airbnb mungkin tidak akan pernah kita dengar saat ini jika sang founder tak memilih keluar dari zona nyaman.

Bagaimana tidak, Airbnb hampir bangkrut hanya dalam waktu satu tahun setelah perusahaan rintisan itu resmi berdiri. Pada 2009, Airbnb hanya mampu menghasilkan pendapatan mingguan sebesar USD 200 (Rp2,1 juta). Artinya, perusahaan sama sekali tidak tumbuh dan justru mencatatkan kerugian yang besar. Dengan grafik pertumbuhan yang datar, Airbnb juga kesulitan mencari modal untuk keberlanjutan usaha.

Merespon masalah ini, Airbnb mencoba menganalisa mengapa orang-orang masih saja skeptis melakukan pemesanan akomodasi secara daring melalui layanan mereka. Layaknya startup pada umumnya, Airbnb lantas berupaya menyelesaikan masalah ini dengan menganalisa situs Airbnb. Mereka kemudian menemukan kesamaan di antara penyedia akomodasi, yakni kualitas foto yang buruk. 

Hipotesis itulah yang kemudian membawa Airbnb mengambil langkah yang tak banyak diambil startup. Alih-alih menyelesaikan masalah secara teknis, Airbnb justru mengirim karyawannya untuk terjun langsung ke lapangan untuk menguji hipotesis yang dimiliki.

Tim beranggotakan tiga orang itu lantas mengunjungi dan berbicara langsung dengan tuan rumah mitra Airbnb di New York, Amerika Serikat, untuk mengetahui kendala sebenarnya. Dari pertemuan itu, mereka menyadari bahwa mayoritas tuan rumah menggunakan ponsel mereka untuk mengambil gambar kamar atau rumah yang disewakan. Saat itulah tim menawarkan untuk mengganti semua gamber dengan foto baru yang lebih berkualitas.

Langkah yang diambil Airbnb saat itu cenderung kontroversial. Pasalnya, lebih banyak startup bekerja dan menyelesaikan masalah berdasarkan data. Tak sedikit pendiri startup berasal dari latar belakang engineering, yang membuat mereka lebih fokus menghabiskan waktu di belakang komputer dan menciptakan coding atau algoritma canggih untuk menyelesaikan masalah pelanggan.

Meskipun Airbnb digerakkan oleh data, mereka tidak membiarkan data mendorong mereka. Airbnb justru mengambil langkah lain dengan membangun hipotesis kreatif, mengujinya terhadap pengguna, menerapkan perubahan, meninjau bagaimana dampaknya terhadap bisnis, lalu mengulangi proses tersebut. Siapa sangka cara itu justru berhasil dan mengubah model bisnis Airbnb.

Seminggu setelah mengganti foto akomodasi dengan yang lebih berkualitas, pendapatan mingguan Airbnb meningkat dua kali lipat menjadi USD 400 (Rp4,2 juta) per minggu. Ini adalah peningkatan keuangan pertama yang dilihat perusahaan dalam lebih dari delapan bulan.

Dalam wawancaranya bersama media First Round, Joe Gebbia yang merupakan co-founder Airbnb menekankan bahwa memperbarui foto membuktikan bahwa coding saja tidak dapat menyelesaikan setiap masalah yang dimiliki pelanggan. Meskipun komputer sangat kuat, Gebbia menilai menemui pelanggan di dunia nyata merupakan cara terbaik untuk mengatasi masalah bisnis dan menghasilkan solusi cerdas.

Bagaimana Design Thinking Membantu Airbnb Selesaikan Masalah Bisnis

Airbnb adalah contoh menarik tentang bagaimana design thinking membantu bisnis memecahkan masalah. Keuntungan ini tak lain berasal dari kemampuan design thinking untuk memecahkan masalah berdasarkan wawasan atau pemahaman mendalam mengenai pengguna mereka.

Dalam kasus Airbnb, mereka melibatkan pengguna selama proses pemecahan masalah. Mereka berinteraksi langsung dengan pengguna untuk mengetahui masalah dan rasa frustasi mereka. Airbnb kemudian mencoba menghasilkan solusi berdasarkan masalah ini dengan berempati atas apa yang sebenarnya diinginkan pengguna, yakni foto berkualitas yang mampu menggambarkan kondisi akomodasi dengan akurat.

Pendekatan design thinking sendiri mencakup tiga langkah utama, yang termasuk mengidentifikasi masalah dengan berempati, mengumpulkan ide dan membuat serta menguji prototype. Sebagai pengadopsi awal pendekatan design thinking di Indonesia, Innovesia meyakini bahwa inti dari proses ini adalah mengonfirmasi pengalaman dan kebutuhan pengguna. Dengan proses yang iteratif, Innovesia percaya design thinking mampu membawa bisnis untuk memahami pengguna lebih baik dalam rangka memecahkan masalah. 

Menurut Fiter Bagus selaku Direktur Innovesia, ketika mengadopsi design thinking untuk memecahkan masalah terkait produk atau layanan, perusahaan akan dituntun mengidentifikasi masalah dengan memahami pengguna. Dengan begitu, perusahaan akan memiliki gagasan untuk meningkatkan kepuasan pengguna, dan menghasilkan solusi yang dapat diuji. Alhasil, solusi yang dihasilkan tak akan sia-sia.

“Bisnis mulai memfokuskan perhatian pada pemecahan masalah melalui cara yang sesuai dengan kebutuhan pengguna dan itulah yang diharapkan dari design thinking. Dengan pendekatan yang berpusat pada manusia sebagai pengguna ini, bisnis dituntun untuk membingkai pernyataan masalah, membuat ide dan menemukan solusi dengan menempatkan pengguna di pusat pengambilan keputusan,” jelas Fiter Bagus.

Melihat kesuksesan pemecahan masalah melalui design thinking, Airbnb hingga kini terus meningkatkan kualitas bisnisnya berdasarkan feedback atau umpan balik dari pengguna mereka. Pada musim panas tahun ini misalnya, Airbnb meluncurkan Airbnb Rooms, dengan fitur “Host Passport”. 

Melihat kebutuhan besar penggunanya untuk lebih terhubung dan mengenal dengan siapa mereka menginap, fitur Host Passport menyediakan foto akomodasi dengan lebih detail dilengkapi dengan informasi mengenai tuan rumah. Informasi yang dibagikan ini mencakup di mana mereka bersekolah, pekerjaan mereka saat ini dan fakta menarik tentang para tuan rumah. Dengan begitu, calon pelanggan dapat lebih mengenal tuan rumah tempat mereka menginap sebelum melakukan pemesanan secara daring.

“Kami memperkenalkan rangkaian pembaruan paling ekstensif yang pernah ada. Pendekatan berbasis desain berarti kami selalu menjadikan Airbnb lebih baik. Lebih dari 50 fitur dan peningkatan baru kami hanyalah permulaan. Kami tidak akan pernah berhenti meningkatkan Airbnb,” ujar Brian Chesky, salah satu pendiri dan CEO Airbnb.

Selain Host Passport, pendekatan berbasis desain telah mendorong Airbnb untuk meningkatkan efektivitas lebih dari 50 fitur yang didasarkan pada umpan balik pengguna. Kini, pengguna dapat melihat total biaya, hingga menambahkan catatan ke daftar wishlist yang membuat pengguna lebih mudah mengingat mengapa mereka menyukai suatu akomodasi. Tak ketinggalan fitur peta yang lebih persisten, sehingga pengguna dapat memperbesar dan menggeser peta untuk melihat lebih banyak saat menelusuri suatu lokasi.

“Jutaan orang telah memberi kami umpan balik tentang cara meningkatkan Airbnb. Kami telah mendengarkan,” kata Brian Chesky.

_com

Tak heran jika Airbnb terus melaporkan pendapatan tahunan yang positif. Usai diterpa pandemi Covid-19, Airbnb mencatatkan pendapatan sebesar USD 1,8 miliar (Rp26,54 triliun) pada Q1 2023. Angka ini sekaligus menjadikannya sebagai pendapatan Q1 tertinggi Airbnb. Dari pendapatan tersebut, Airbnb membukukan laba bersih USD 117 juta (Rp1,8 triliun), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kerugian bersih sebesar USD 19 juta (Rp294 miliar) pada Q1 2022. 

“Kami memiliki Q1 yang memecahkan rekor, dengan lebih dari 120 juta pemesanan dan mempercepat pertumbuhan di seluruh dunia. Kami juga melihat pertumbuhan pendapatan 20% dari tahun ke tahun dan arus kas bebas untuk kuartal tersebut adalah USD 1,6 miliar [Rp24,8 triliun]. Dengan lebih dari 50 fitur baru dan pemutakhiran yang dirilis minggu lalu, layanan kami tidak pernah sebaik ini,” ujar Brian Chesky.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • All Post
  • Design Thinking
  • Edukasi
  • Eksklusif
  • Gaya Hidup
  • Innovation
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Open Innovation
  • Otomotif
  • Pemerintahan
  • Pertambangan
  • Teknologi
  • Uncategorized
  • Workshop

Investing in Innovation

Everyone can innovate, including you. We help people and organizations to innovate in the era of Industrial Revolution 4.0

building

Design Thinking

Newsletter

About Us

PT Investasi Inovasi Indonesia

innovesia.co.id

designthinking.id

Business Address:

Equity Tower, 35th Floor, SCBD Lot 9

Jl. Jendral Sudirman, Kav 52-53, Jakarta 12910

P: +62 21 2939 8903