Layaknya makan dan minum, tidur juga merupakan kebutuhan utama manusia. Jika tidak terpenuhi, kekurangan tidur bisa menimbulkan ragam masalah kesehatan.
Kekurangan tidur di malam hari dapat langsung memengaruhi rutinitas harian kita. Kita tidak hanya akan merasa kantuk yang hebat, tapi juga cenderung berada dalam suasana hati yang buruk. Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute, kurang tidur membuat seseorang kesulitan fokus dan bereaksi sehingga membuat kita kurang produktif dan mengganggu fungsi sosial lainya.
Selain itu, kurang tidur juga dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh kita. Sebuah studi seperti yang dilansir dalam laman Mayo Clinic, menunjukkan bahwa orang yang tidak mendapatkan tidur yang cukup atau memiliki kualitas tidur yang buruk, lebih mungkin untuk sakit setelah terkena virus.
Pasalnya selama kita tidur, sistem kekebalan tubuh akan melepaskan dan memproduksi protein yang disebut sitokin, yang bertindak sebagai pengatur kekebalan tubuh untuk melawan hal-hal yang bersifat patogen atau menimbulkan penyakit. Karenanya, kurang tidur dapat menurunkan produksi sitokin pelindung ini.
Seseorang yang rutin mengalami kekurangan tidur dalam jangka panjang juga berisiko obesitas, diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan pembuluh darah. Lebih parahnya, kekurangan tidur juga dapat memicu masalah kesehatan mental.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menjelaskan, masalah tidur dalam jangka panjang dapat memperburuk kondisi kesehatan mental, seperti depresi atau kegelisahan. Risiko gangguan kesehatan mental meningkat lantaran kekurangan tidur dapat meningkatkan kemungkinan individu mengalami pikiran negatif yang intens atau perasaan rentan secara emosional.
Tak hanya pada sisi kesehatan, kurang tidur ternyata juga merugikan perekonomian. Mempelajari perekonomian lima negara berbeda, RAND Health Quarterly menunjukkan, kekurangan tidur menyebabkan hilangnya produktivitas kerja yang mengarah pada kerugian USD 680 miliar atau sekitar Rp10,455 triliun per tahun. Di Amerika Serikat sendiri, kerugian akibat karyawan yang kekurangan tidur ditaksir mencapai USD 433 miliar atau setara Rp6,657 triliun.
Terlepas dari dampak buruk yang disebabkannya, masih banyak orang tidak mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang cukup. Menurut survei mengenai kualitas tidur yang dilakukan oleh Zepp Health secara global menunjukkan, rata-rata orang di Indonesia hanya tidur selama 6 jam 36 menit setiap hari.
Jumlah ini jauh di bawah rata-rata global dan lebih rendah dari durasi tidur yang dibutuhkan seseorang setiap harinya. Meski durasi tidur yang tepat dapat bervariasi dari satu orang ke orang lain, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan agar orang dewasa tidur setidaknya 7 jam setiap malam.
Melahirkan Solusi Melalui Inovasi
Mengingat dampak negatif dari kekurangan tidur, tak heran jika sejumlah industri terkait mulai menciptakan produk yang tak hanya memberikan kenyamanan, tapi juga mengatasi masalah tidur konsumen termasuk dengan merangkul teknologi. Mulai dari tracking yang dapat mendokumentasikan kebiasaan tidur kita, hingga ranjang pintar yang bisa mengikuti bentuk atau posisi tidur kita.
Sayangnya, tak semua teknologi atau sleep tech ini mampu menyelesaikan masalah tidur setiap orang yang berbeda-beda. Kekurangan tidur memang tidak hanya disebabkan oleh kebiasan begadang atau tuntutan pekerjaan yang mengharuskan seseorang untuk lembur.
Lebih dari itu, minimnya waktu tidur juga bisa disebabkan oleh kualitas tidur yang buruk akibat sejumlah gangguan tidur atau sleep disorder. Secara definisi, sleep disorder adalah kondisi yang mengganggu tidur seseorang atau mencegah seseorang untuk tidur nyenyak. Dari 80 jenis sleep disorder yang didokumentasikan, sedikitnya ada delapan sleep disorder yang paling sering ditemui, yakni insomnia, sleep apnea, restless legs syndrome, dan narkolepsi.
Untuk menyelesaikan masalah ini, merek lama seperti TEMPUR-Pedic terus-menerus memperkenalkan inovasi teknologi yang disematkan ke dalam lini produk matras mereka.
Namun, alih-alih langsung menciptakan matras dengan teknologi terbaru, TEMPUR-Pedic lebih dulu mempelajari banyak variabel yang berkontribusi terhadap mengapa banyak orang tidak bisa tidur nyenyak. Sadar akan kesulitan mempelajari kebiasaan tidur jutaan orang, TEMPUR-Pedic lantas merangkul pendekatan open innovation dengan bermitra bersama divisi Sleep Medicine dari Stanford University.
Melalui open innovation, keduanya mempelajari lebih dari 26 juta data kebiasaan tidur yang dilacak melalui aplikasi Sleeptracker AI TEMPUR-Pedic, yang dapat melacak kualitas tidur penggunanya melalui indikator seperti detak jantung, gerakan, dan laju pernapasan. Studi ini jelas krusial untuk mengetahui jenis inovasi apa yang paling membantu meningkatkan kualitas tidur pengguna.
Hasil studi menunjukkan masalah buruknya kualitas tidur yang paling umum berhubungan dengan panas. Atas temuan itu, inovasi yang dilakukan TEMPUR-Pedic adalah menciptakan rangkaian produk SmartClimate, penutup kasur yang mampu menyerap panas berlebih dan meningkatkan aliran udara di sekitar tempat tidur.
Tidak berhenti di situ, TEMPUR-Pedic juga mengembangkan tiga inovasi teknologi untuk diintegrasikan dengan basis ProSmart bertenaga Sleeptracker AI, yang semuanya bekerja untuk meningkatkan relaksasi mental dan tubuh untuk membantu penggunanya untuk tidur nyenyak.
Berkat inovasi, pasar sleep tech telah menjadi industri yang berkembang pesat. Menurut laporan industri yang disusun oleh Graphical Research, industri sleep tech di Amerika Utara saja diperkirakan akan melebihi USD 17 miliar atau setara dengan Rp261 triliun pada tahun 2027.
Sedikit Mengenai Open Innovation
Dirumuskan pertama kali oleh Henry Chesbrough melalui buku Open Innovation: The New Imperative for Creating and Profiting from Technology yang dirilis pada 2003, open innovation merupakan sebuah metode inovasi di mana perusahaan berupaya menggunakan arus pengetahuan internal dan eksternal untuk mempercepat inovasi.
Jika model R&D tradisional mengharuskan perusahaan hanya dan sangat bergantung pada pengetahuan dan sumber daya internal, open innovation membuka peluang bagi perusahaan di industri manapun untuk menjalankan inovasi dengan berkolaborasi dengan pihak lain di luar perusahaan.
Open innovation kini dipercaya sebagai mesin pertumbuhan dan kinerja bisnis. Dalam laporan Open Innovation Barometer 2022, 95% dari 500 senior eksekutif dari tiga negara yang disurvei telah menginvestasikan sumber daya yang signifikan untuk melaksanakan open innovation.
Studi Open Door to Open Innovation oleh IBM Institute for Business Value dan Oxford Economics, menunjukkan mereka yang mengadopsi open innovation melaporkan pertumbuhan pendapatan perusahaan hingga 59% lebih tinggi. Sebaliknya, perusahaan yang mengabaikan open innovation mengalami tingkat pertumbuhan pendapatan 12% lebih rendah dibandingkan organisasi lain. Lebih dari itu, 61% dari perusahaan yang tertinggal itu justru melaporkan kinerja buruk dalam hal profitabilitas dan efisiensi.
Di Indonesia sendiri, open innovation bukanlah hal baru. Sebagai pelopor ekosistem inovasi Indonesia melalui open innovation, Innovesia telah berhasil menjadi mitra untuk orang-orang yang bersemangat berinvestasi dalam inovasi. Innovesia telah berhasil menjadi mitra sejumlah institusi terkemuka, seperti holding BUMN pertambangan Indonesia MIND ID dalam meningkatkan pertumbuhan industri pertambangan yang berkelanjutan dengan mengundang kontribusi riset dan inovasi anak bangsa melalui kompetisi inovasi bertajuk BIGMIND Innovation Award 2022.
Innovesia juga turut andil mensukseskan open innovation yang diselenggarakan Kemenkes RI bersama United Nations Children’s Fund (UNICEF). Melalui program Youth for Health Innovation Challenge, Innovesia mewadahi UNICEF dan remaja Indonesia khususnya di Aceh dan Bandung, untuk bersama-sama mencari solusi mengatasi tantangan kesehatan dengan pendekatan inovasi pada akhir tahun lalu.