Meski inovasi diperlukan bagi perusahaan untuk beradaptasi dan mengatasi tantangan bisnis, banyak perusahaan masih kesulitan berinovasi. Sebuah survei dari Gartner, perusahaan riset sekaligus konsultan teknologi yang berbasis di Amerika Serikat, menunjukkan kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni telah membatasi perusahaan untuk berinovasi.
Dalam survei bertajuk Gartner CMO Brand Strategy and Innovation Survey, sedikitnya 41% dari 393 perusahaan dari Amerika, Kanada dan Inggris yang disurvei mengaku kesulitan berinovasi karena kurangnya sumber daya manusia dengan keterampilan yang dibutuhkan. Sumber daya manusia memang menjadi masalah yang krusial dalam berinovasi. Sebuah studi yang dipublikasi dalam Harvard Business Review misalnya, mencatat bahwa kemampuan kognitif karyawan dapat memengaruhi keberhasilan inovasi di suatu perusahaan.
Profesor emeritus perilaku organisasi di McMaster University, Min Basadur yang pernah meneliti preferensi dan peran inovasi lebih dari 100.000 karyawan dari banyak institusi ternama di 84 negara, menjelaskan setidaknya perusahaan membutuhkan empat tipe inovator di perusahaan agar inovasi yang mereka lakukan berhasil.
Keempat tipe inovator itu adalah: generator yang memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah dan solusi berdasarkan pengalaman langsung mereka; conceptualizer yang mampu mendefinisikan dan memahami masalah melalui analisis secara menyeluruh; optimizer yang cerdas dalam hal mengevaluasi ide inovasi dan menyarankan solusi; lalu implementers yang antusias untuk langsung mengambil tindakan.
Tanpa salah satu dari keempatnya, perusahaan jelas akan kesulitan. Misalnya, tanpa generator maka perusahaan akan kehilangan peluang untuk berinovasi karena gagal mengidentifikasi masalah. Namun, memiliki generator saja tidak cukup pasalnya mereka tidak mampu mengartikulasikan pemahaman yang jelas tentang masalah secara spesifik atau potensi solusinya.
Selain keterbatasan akan sumber daya manusia, riset Gartner CMO Brand Strategy and Innovation Survey juga menyoroti hambatan lain yang dihadapi perusahaan dalam berinovasi. Sedikitnya, 38% perusahaan mengaku kesulitan berinovasi karena keterbatasan teknologi, sementara 37% mengaku tidak bisa berinovasi karena kekurangan anggaran atau pendanaan. Selain itu, lemahnya budaya inovasi juga menghambat 32% perusahaan untuk berinovasi.
Senada, riset mengenai aktivitas inovasi bertajuk The Deloitte Innovation Survey juga mencatat hambatan serupa. Survei terhadap eksekutif di sejumlah perusahaan besar di Yunani itu mengidentifikasi tiga hambatan utama bagi perusahaan dalam berinovasi. Dua dari ketiga hambatan itu adalah kurangnya waktu dan keterampilan teknis untuk berinovasi.
Selain itu, survei yang sama juga mencatat kendala lain yang turut menghambat aktivitas inovasi perusahaan. Di antaranya kurangnya kepemimpinan dan keterampilan manajemen, permintaan barang atau jasa baru yang tidak pasti, kurangnya akses ke keuangan, minimnya ketersediaan penyedia teknologi untuk melatih dan menerapkan teknologi baru, dan kurangnya kesempatan untuk pembuatan prototipe dan eksperimen.
Temuan kedua studi tersebut menunjukkan bahwa hambatan utama untuk inovasi terutama berasal dari lingkungan internal organisasi. Kabar baiknya, perusahaan dapat berinovasi dengan mengandalkan sumber daya eksternal perusahaan melalui open innovation.
Memanfaatkan Sumber Daya Eksternal untuk Berinovasi
Apabila inovasi umumnya dilakukan secara mandiri oleh perusahaan dan sangat bergantung pada pengetahuan dan sumber daya internal, open innovation membuka peluang bagi perusahaan di industri manapun untuk menjalankan inovasi melalui kolaborasi dengan pihak lain di luar perusahaan.
Dengan berkolaborasi, open innovation mampu mengatasi masalah keterbatasan yang dihadapi perusahaan seperti kurangnya sumber daya manusia, kurangnya anggaran dan kesulitan perusahaan dalam mengadopsi teknologi. Pasalnya, open innovation membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perusahaan untuk mendapatkan pengetahuan atau bahkan solusi atas suatu permasalahan dari pihak internal dan eksternal perusahaan.
Melalui open innovation, perusahaan dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari pelaku bisnis di industri yang sama hingga lintas industri, startup, universitas, komunitas, bahkan masyarakat luas.
Menurut laporan The Power of Minds: How Open Innovation Offers Benefits For All 2023, open innovation telah membantu 55% dari 1.000 perusahaan di 12 negara dalam meningkatan kecepatan inovasi mereka. Bahkan, lebih dari 60% organisasi telah mengalami peningkatan efisiensi operasional, peningkatan pendapatan, dan ketangkasan yang lebih besar dalam menjawab tantangan bisnis.
Hasil positif dari aktivitas open innovation turut dilaporkan berbagai perusahaan dari industri berbeda. Di mana, 60% perusahaan yang bergerak di sektor telekomunikasi dan teknologi melaporkan bahwa open innovation mampu membawa dampak positif bagi bisnis mereka. Disusul, sektor ritel dan otomotif di mana lebih dari 55% perusahaan di kedua sektor melaporkan hasil yang sama.
Selain mempercepat inovasi, open innovation secara luas diakui mampu mempermudah perusahaan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Melansir Kumparan, sebanyak 51% perusahaan mengaku open innovation membantu mereka dalam mengadopsi penggunaan atau penerapan teknologi baru dalam bisnis mereka. Tak hanya itu, open innovation juga membantu 58% perusahaan untuk mengatasi tantangan teknis yang mereka hadapi dalam mengukur skalabilitas teknologi baru.
Berinovasi Melalui Open Innovation di Indonesia
Meyakini pentingnya open innovation dalam lanskap industri sekarang ini, Innovesia sebagai perusahaan yang berfokus pada inovasi turut mendorong terlaksananya kolaborasi inovasi melalui open innovation. Pada 2017, Innovesia dipercaya memperkenalkan open innovation dalam Evidence Summit 2017.
Evidence Summit sendiri merupakan program kajian mengenai bagaimana menurunkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia dengan mengumpulkan seluruh bukti permasalahan di setiap daerah. Evidence Summit diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan JPHIEGO sebuah lembaga layanan kesehatan internasional yang mengkhususkan diri dalam kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Evidence Summit ditujukan untuk mengumpulkan semua pemangku kepentingan dalam bidang kesehatan ibu dan bayi untuk berkolaborasi dalam memadukan data penelitian atau bukti-bukti. Dalam salah satu rangkaian acara Evidence Summit, AIPI mengumpulkan semua pemangku kepentingan yang berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, lembaga penelitian, sektor swasta, lembaga donor atau bantuan, dan berbagai pihak lainnya untuk berbagi dan menyajikan data aktual.
Data-data inilah yang diharapkan mampu memberikan rekomendasi bagi kebijakan pemerintah dalam mengurangi angka kematian ibu dan bayi baru lahir.
Pada kerja sama ini, Innovesia dipercaya untuk berbagi mengenai bagaimana pendekatan inovasi terbuka atau open innovation dan kolaborasi dapat membantu mempercepat pengumpulan bukti-bukti dengan membuka pikiran, sumber daya, dan data di antara para pemangku kepentingan.