Metode Lean Startup: Cara Startup Membangun Bisnis Berbasis Pelanggan

Terlalu banyak startup memulai bisnis berbekal ide untuk produk atau jasa yang menurut mereka diinginkan orang. Mereka kemudian menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk menyempurnakan produk tersebut tanpa pernah menunjukkan ide produk atau prototype sederhana kepada calon pelanggan. 

Parahnya, startup bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk berbicara dengan calon pelanggan dalam menentukan apakah produk yang mereka kerjakan itu menarik atau tidak. Alih-alih berbicara kepada pelanggan, banyak startup hanya tertarik membicarakan kehebatan produk mereka di depan venture capital untuk mendapatkan pendanaan. Inilah yang terjadi, ketika startup akhirnya merilis produk mereka ke pasar, tidak ada konsumen yang tertarik dengan apa yang mereka tawarkan, startup tersebut pun gagal.

Inilah yang terjadi pada tak sedikit startup yang gagal memenuhi kebutuhan pelanggan atau user need. Sebuah studi oleh CB Insight, menunjukkan 35% startup gagal karena inovasi produk yang mereka bawa tidak sesuai kebutuhan pasar. Faktanya, faktor ini menjadi penyebab kegagalan startup tertinggi kedua dari 12 faktor penyebab gagalnya startup yang dirangkum CB Insight.

Padahal kegagalan sejenis ini sepenuhnya bisa dicegah jika startup mau meluangkan waktu mereka untuk berkomunikasi dan memahami kebutuhan calon pelanggan sebelum mengembangkan suatu produk. Metodologi inilah yang dikenal luas dengan sebutan “lean startup”.

Secara definisi, lean startup adalah metode yang ditujukan untuk membuat dan mengelola startup dan mendapatkan produk yang diinginkan ke tangan pelanggan dengan lebih cepat. Berbeda dengan model bisnis tradisional, lean startup tidak dimulai dengan pengembangan rencana bisnis melainkan mencari model bisnis yang sesuai kebutuhan pasar. 

Menurut Steve Blank, pengusaha sekaligus tenaga pendidik di tiga kampus ternama di Amerika menilai, metode lean startup membuat proses pendirian perusahaan tidak terlalu berisiko. Menurutnya, metode ini mendorong lebih banyak eksperimen daripada perencanaan yang rumit, umpan balik pelanggan daripada intuisi, dan desain berulang daripada pengembangan secara tradisional. 

Jika saat ini Anda berpikir untuk membuat bisnis dan sedang mencari metode untuk melakukannya, sebaiknya Anda memahami perbedaan antara metodologi lean startup dan metodologi tradisional. Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh metodologi lean akan membantu Anda menentukan apakah metode tersebut tepat untuk Anda dan bisnis Anda.

Definisi Lean Startup dan Perbedaannya dengan Pendekatan Bisnis Tradisional

Konsep lean startup pertama kali dikenal pada awal tahun 2000-an dan berkembang menjadi metodologi pada sekitar tahun 2010, yang dikembangkan oleh pengusaha Steve Blank dan Eric Ries. Pada 2011, Ries menerbitkan ikhtisar bertajuk The Lean Startup. Metodologi ini diciptakan untuk meminimalkan risiko bawaan yang muncul saat membangun startup

Metode lean startup telah mengubah bahasa yang digunakan startup untuk mendeskripsikan pekerjaan mereka. Jika pendekatan tradisional berpusat pada pengembangan produk secara diam-diam untuk menghindari peringatan pesaing potensial terhadap peluang pasar, lean startup justru mendorong pengusaha untuk terjun ke pasar mencari model bisnis yang tepat dan akhirnya menguji ide yang mereka miliki. Umpan balik yang diterima dari calon pelanggan kemudian digunakan untuk mengulangi produk dan memperbaikinya.

Pendekatan tradisional umumnya mengharuskan startup membuat rencana bisnis yang menjabarkan semua tujuan dan ide mereka tentang bagaimana mereka akan mencapai kesuksesan. Rencana ini biasanya mencakup besarnya peluang, masalah yang harus dipecahkan, dan solusi yang akan diberikan oleh usaha baru tersebut, juga perkiraan pendapatan, keuntungan, dan arus kas dalam lima tahun kedepan. 

Begitu startup memiliki rencana bisnis yang matang dan memperoleh uang dari investor, mereka akan mulai menginvestasikan ribuan jam kerja untuk membuat produknya sempurna dengan sedikit masukan dari calon pelanggan atau bahkan tidak sama sekali. Umpan balik calon pelanggan dalam hal ini hanya dilibatkan setelah startup mencoba menjual produknya.

Sebaliknya, metodologi lean startup bertentangan dengan standar yang telah lama digunakan pada pendekatan tradisional. Pasalnya, metode ini justru memandang umpan balik pelanggan jauh lebih penting daripada kerahasiaan.

Alih-alih terlibat dalam perencanaan dan penelitian selama berbulan-bulan, Steve Blank dalam tulisannya di laman Harvard Business Review, menuturkan pengusaha yang mengadopsi metode lean startup akan menerima bahwa semua ide yang mereka miliki hanya merupakan serangkaian hipotesis yang belum teruji. 

Dengan begitu, mereka akan meringkas hipotesis mereka dalam kerangka kerja dan mengujinya di antara pelanggan untuk mendapatkan umpan balik. Pengusaha selanjutnya menggunakan umpan balik pelanggan untuk merekayasa ulang produk mereka.

Dengan mengujikan idenya kepada pelanggan, startup dapat mengukur minat konsumen terhadap produk dan menentukan bagaimana produk mungkin perlu disempurnakan. Proses inilah yang disebut sebagai pembelajaran yang divalidasi. 

Ketika pelanggan tidak bereaksi seperti yang diinginkan, startup dapat dengan cepat menyesuaikan diri untuk kembali mengembangkan produk yang diinginkan konsumen dan menghindari penggunaan sumber daya yang tidak perlu dalam pembuatan dan pengembangan produk.

Memahami kebutuhan itu penting karena harapan konsumen selalu tinggi. Kebutuhan pelanggan membantu kami untuk mengungkapkan dan memahami siapa konsumen kami, dan keadaan atau faktor  yang mengarahkan mereka untuk menggunakan produk atau layanan.

Memahami Lean Startup dengan Design Thinking

Metode lean startup sejatinya mengadvokasi konsep pengembangan iteratif dan agile, yang mengharuskan pengusaha membangun prototype dengan cepat, dan mengujikannya ke pasar untuk mengukur keberhasilan produk tanpa menghabiskan sumber daya yang tidak perlu. Adapun data yang dihasilkan dari proses pengujian ini nantinya digunakan dalam fase pembangunan berikutnya. Tahapan ini juga telah dikenal luas dalam pendekatan design thinking.

Design thinking didasarkan pada metode ilmiah yang diadaptasi dalam bisnis, khususnya dalam menciptakan produk, layanan, dan pengalaman yang berakar pada pengalaman manusia atau dalam hal ini adalah calon pelanggan.

Secara definisi, design thinking digambarkan sebagai sebuah proses dan pola pikir untuk berempati dengan masalah yang berfokus pada manusia, untuk kemudian menemukan pendekatan dan ide-ide inovatif melalui visualisasi dan prototype. Design thinking menekankan pada siklus berpikir terus menerus, dengan menyediakan ruang untuk improvisasi yang terus berempati-uji-kegagalan-sukses-empati dan sebagainya. 

Seperti lean startup, hipotesis dalam design thinking diperoleh melalui riset untuk memahami kebutuhan pelanggan. Design thinking dalam hal ini menawarkan cara untuk mengumpulkan dan memahami data subjektif dan kualitatif, seperti keinginan, kebutuhan, serta pengalaman pribadi pelanggan, dan menyoroti kebutuhan utama yang perlu dipenuhi hingga mengembangkan solusi atas kebutuhan itu.

Setelahnya, tahap design thinking menuntut penggunanya mengembangkan prototype atas solusi yang dimiliki dan mengujinya kepada pelanggan. Fase pengujian ini akan dengan cepat menyoroti setiap kekurangan desain yang perlu ditangani. Proses design thinking yang iteratif meningkatkan kemampuan seseorang untuk mempertanyakan masalah, meragukan asumsi dan implikasinya. Karena itulah pengaplikasian design thinking mendorong startup untuk menciptakan solusi yang memenuhi kebutuhan nyata pelanggan.

Sebagai pelopor ekosistem inovasi dan pengadopsi awal design thinking di Indonesia, Innovesia meyakini design thinking merupakan solusi bagi bisnis untuk menghadirkan produk atau layanan yang benar-benar menjawab kebutuhan target penggunanya atau product market-fit dan bukan mengedepankan teknologi atau fiturnya.

Berdiri sejak 2015, Innovesia telah membantu lebih dari 100 perusahaan, pemerintah, organisasi dan institusi pendidikan secara lokal dan global untuk berinovasi dengan  mengimplementasikan metodologi design thinking. Dengan begitu, bisnis dapat mengembangkan pemahaman terbaik tentang pelanggan, kebutuhan mereka, dan masalah yang mendasari pengembangan produk atau layanan yang ingin diciptakan atau perbaiki. 

Pada 2017 misalnya, Innovesia dipercaya IUWASH Plus atau yang sekarang dikenal dengan IUWASH Tangguh untuk menyelenggarakan serangkaian workshop design thinking yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang. Mereka yang mengikuti workshop ini diantaranya, perwakilan PDAM Bogor dan Bekasi, United States Agency for International Development (USAID), Makers IoT, dan masih banyak lagi.

Dengan pendekatan Human Centered Design, Innovesia membantu IUWASH Tangguh untuk mengembangkan prototype Open Source Real-Time Water Pressure Sensor yang diinstal di dua PDAM di Kota Bogor dan Kota Bekasi dalam proyek pengembangan OSH yang didanai oleh USAID.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • All Post
  • Design Thinking
  • Edukasi
  • Eksklusif
  • Gaya Hidup
  • Innovation
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Open Innovation
  • Otomotif
  • Pemerintahan
  • Pertambangan
  • Teknologi
  • Uncategorized
  • Workshop

Investing in Innovation

Everyone can innovate, including you. We help people and organizations to innovate in the era of Industrial Revolution 4.0

building

Design Thinking

Newsletter

About Us

PT Investasi Inovasi Indonesia

innovesia.co.id

designthinking.id

Business Address:

Equity Tower, 35th Floor, SCBD Lot 9

Jl. Jendral Sudirman, Kav 52-53, Jakarta 12910

P: +62 21 2939 8903