design thinking.
Dengan berempati, kita dituntut untuk mengesampingkan pembelajaran, budaya, pengetahuan, pendapat, dan pandangan yang dimiliki demi memahami pengalaman orang lain tentang berbagai hal secara mendalam dan bermakna. Agar berhasil, empati mengharuskan kita untuk meninggalkan prasangka terhadap orang lain.
Walau empati merupakan bawaan lahir manusia, pendidikan, lingkungan, dan pengalaman kita sebelumnya dapat membentuk penilaian subjektif atau prasangka tentang orang lain yang membuat kita kesulitan mengenal atau memahami mereka.
Di banyak titik dalam proyek inovasi berdasarkan design thinking, kita akan mewawancarai pelanggan, baik ketika mencoba membangun pemahaman tentang pengguna di tahap awal, maupun setelah menguji prototipe dengan mereka. Ketika melewati dua tahap ini, kita diharuskan mengajukan pertanyaan kepada mereka untuk menyelidiki lebih dalam emosi dan perilaku mereka.
design thinking
Selama wawancara, kita harus terus mengajukan pertanyaan “Mengapa?” secara konstan, terlepas dari apakah kita mungkin berpikir sudah tahu jawabannya. Langkah ini penting dilakukan karena bukan tidak mungkin pelanggan akan memiliki jawaban sendiri yang menantang asumsi kita tentang mereka.
Karena itu, menjadi pendengar yang penuh empati ketika menjalankan proyek dengan pendekatan design thinking bukanlah perkara mudah. Kita tak hanya dituntut untuk sekedar mendengarkan pelanggan, tapi juga memahami apa yang mereka katakan dan mendalami apa yang tidak mereka katakan.
design thinking
Kabar baiknya, kita dapat belajar mengembangkan rasa empati untuk membentuk pemahaman yang mendalam dan tulus terhadap pelanggan. Terlebih, ada banyak teknik yang dapat digunakan untuk mengembangkan empati semacam ini, salah satunya melalui metode What-How-Why.
What-How-Why.
Apa itu metode What-How-Why?
apply now
Apa itu metode
What-How-Why?
What-How-Why?
Interaction Design Foundation mengartikan What-How-Why sebagai alat yang dapat digunakan saat mengamati orang untuk membantu kita menyelami pengamatan dan mendapatkan tingkat pemahaman yang lebih dalam.
Interaction Design Foundation
What-How-Why
Sementara Hasso Plattner Institute of Design (d.school) di Stanford University, merumuskan metode What-How-Why sebagai alat yang memungkinkan kita beralih dari pengamatan konkret atas situasi tertentu ke emosi dan motif yang lebih abstrak yang berperan dalam situasi itu. Metode What-How-Why disebut d.school sangat berguna untuk dimanfaatkan sebagai alat dalam menganalisis gambar yang mungkin kita ambil saat mengamati pelanggan.
Hasso Plattner Institute of Design
Stanford University
What-How-Why
What-How-Why
Lebih jelasnya, dengan metode What-How-Why, kita mulai dengan pengamatan konkret atau ‘Apa’. Kemudian beralih ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi dengan menanyakan ‘Bagaimana‘, sementara aspek ‘Mengapa’ merupakan pendorong emosional di balik perilaku orang yang juga perlu diamati. Berikut penjabaran lebih jelas mengenai metode What-How-Why:
What-How-Why,
What-How-Why:
- What
What
What
Dalam what, kita diharuskan mencatat detail dari apa yang terjadi. Apa yang pelanggan lakukan, apa yang terjadi di sekitarnya ketika ia melakukan hal itu, apa yang dipegangnya dan jelaskan sekonkret mungkin menggunakan kata sifat.
what,
2. How
2. How
How
How atau bagaimana mencoba menjelaskan bagaimana orang tersebut atau dalam hal ini pelanggan, melakukan apa yang dia lakukan. Misalnya, apakah orang tersebut berusaha keras atau apakah dia justru mengerutkan kening atau tersenyum saat menjelaskan sesuatu atau ketika mereka menggunakan produk atau layanan. Singkatnya, how mengharuskan kita untuk menggambarkan dampak emosional produk atau layanan pada pelanggan.
How
how
3. Why
3. Why
Why
Terakhir, cobalah untuk menginterpretasikan adegan tersebut ketika memasuki aspek why. Berdasarkan pengamatan pada what dan how, tebak pendorong emosional di balik orang yang kita amati. Orang tersebut mungkin mengerutkan kening karena dia khawatir akan melukai dirinya sendiri dalam prosesnya. Hal ini menandakan bahwa pelanggan kita kemungkinan mengkhawatirkan keselamatannya ketika berinteraksi dengan produk atau layanan.
why
what
how