Dengan design thinking, Google sukses menciptakan pengalaman belajar baru bagi anak-anak untuk melakukan eksperimen coding secara interaktif.
Belajar kode atau coding bukan hanya soal mengetahui simbol dan sintaksis. Lebih dari itu, belajar coding sejak dini diyakini mampu menumbuhkan kreativitas dan imajinasi anak-anak. Kemampuan ini lahir karena melalui coding, anak-anak dapat terinspirasi untuk membangun hal-hal baru dan berinteraksi dengan serangkaian objek.
Menurut lembaga riset terkemuka, McKinsey, belajar coding memiliki segudang manfaat bagi anak-anak karena coding mampu membuka pintu bagi mereka untuk memperoleh literasi digital. Dalam artikel bertajuk Our children must learn to code but the future lies in being human, McKinsey mencatat ada dua manfaat utama mempelajari coding.
Pertama, coding membantu anak-anak mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Seperti yang Steve Jobs katakan: “Setiap orang harus tahu cara memprogram komputer, karena itu mengajari Anda cara berpikir.”
Kedua, belajar coding memberi anak-anak alat untuk menjadi produsen dan bukan sekedar konsumen teknologi. Dengan begitu, anak-anak akan memiliki daya saing sebagai tenaga kerja mengingat coding dan pemrograman komputer diprediksi menjadi salah satu keterampilan yang paling banyak diburu pencari kerja di masa depan.
Meski begitu, Google tak melihat coding dan pemrograman komputer sebagai keterampilan kerja. Menurut mereka, coding merupakan literasi dasar yang harus dipelajari semua orang. Menurut Google, coding harus diajarkan sedini mungkin bukan untuk memudahkan anak-anak mencari pekerjaan ketika sudah dewasa, tapi agar mereka memiliki keterampilan berpikir yang baik.
Dengan pemikiran tersebut, Google Creative Lab datang ke IDEO, sebuah studio desain yang berfokus pada manusia atau human-centered design seperti design thinking, untuk membuat media pembelajaran coding yang sederhana dan interaktif bagi anak-anak tanpa melibatkan layar komputer.
1. Inspiration

Untuk mulai membangun media belajar coding yang interaktif bagi anak-anak, Google Creative Lab bersama IDEO harus lebih dulu memahami bagaimana anak-anak berinteraksi dengan aktivitas pemrograman dan membuatnya menjadi lebih menarik bagi mereka. Tahap inilah yang disebut sebagai inspiration dalam design thinking, di mana Google dituntut untuk memahami dan merasakan permasalahan yang ada demi membantu menemukan solusi terbaik.
Pasalnya, belajar pemrograman seperti coding bisa sangat melelahkan bahkan bagi orang dewasa sekalipun. Bagaimana tidak, untuk membangun aplikasi yang paling sederhana saja, seorang programmer dapat menghabiskan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari di depan komputer. Tetapi mengingat kian pentingnya ilmu satu ini bagi dunia modern, banyak peneliti seperti di Google yang tergerak untuk membuatnya lebih menyenangkan dan mudah didekati, terutama untuk anak-anak dengan sedikit kesabaran.
Atas dasar ini, Google hendak menciptakan metode pembelajaran coding, yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak, yang memungkinkan anak-anak mendapatkan landasan dalam konsep dasar komputasi.
2. Ideation

Setelah memahami tantangan yang dihadapi anak-anak, kini saatnya tim desainer mengumpulkan berbagai ide atau solusi dalam tahap ideation. Tim dari Google Creative Lab dan IDEO mendesain seperangkat blok guna menemukan cara anak-anak dapat belajar coding melalui objek nyata. Setiap blok diberi fungsi dan bentuk tertentu, membimbing anak-anak untuk mengatur, menggabungkan, dan mengatur ulang blok untuk membuat perintah dan mengontrol hal-hal seperti robot atau speaker di dunia nyata.
Selama tahap ideation, tim desainer juga mencoba berbagai media pembelajaran fisik lain seperti sketsa, inti busa, kertas, Play-Doh, dan cetakan 3D untuk melihat bagaimana perubahan bentuk media pembelajaran mempengaruhi pengalaman belajar anak-anak. Semua hal ini dilakukan agar lebih memahami apa yang mampu memperdalam keterlibatan anak-anak, dan meningkatkan keingintahuan mereka.
Proses ideation juga membimbing tim desainer untuk memikirkan kembali anak-anak sebagai target pengguna. Hal ini membuat mereka menyadari bahwa solusi yang mereka buat haruslah mengikuti naluri alami anak-anak. Mengingat anak-anak baru belajar membaca dari kiri ke kanan, tim kemudian mengubah susunan perintah coding yang tadinya dari atas ke bawah menjadi dari kiri ke kanan.
3. Implementation

Untuk lebih memahami bagaimana fitur sistem memungkinkan cara baru untuk berinteraksi dengan blok mereka, Google melakukan prototyping dengan merancang “Coding Kit”, yang berisi satu set blok untuk pengajaran pemrograman. Dalam design thinking, prototyping kian krusial untuk mengubah ide menjadi sesuatu yang nyata dan mengujinya.
Selama beberapa bulan pengujian, Google bekerja dengan lebih dari 150 anak untuk memahami bagaimana mereka bermain dengan Coding Kit tersebut. Hasilnya mengejutkan. Program pembelajaran yang didesain untuk memenuhi kebutuhan anak-anak itu memungkinkan mereka dengan cepat memahami prinsip-prinsip pemrograman.
Dalam menit pertama, anak-anak dapat mengetahui cara menghubungkan blok dan mengarahkannya. Dalam lima menit pertama, mereka juga memahami urutan eksekusi, dan sebagian besar dari mereka melepas dan mengganti sejumlah keping blok dengan mudah di Base Board.
Meski menuai kesuksesan, prototyping membuat tim desainer menemukan adanya kekurangan pada desain Coding Kit mereka. Pasalnya, beberapa anak kesulitan memahami konsep perulangan dalam coding. Anak-anak juga kesulitan mengidentifikasi kesalahan dalam program mereka. Untuk menyelesaikan hal ini, tim desainer dari Google kemudian menyertakan sejumlah alat debugging semacam umpan balik langsung yang membantu anak-anak melihat masalah dengan coding mereka sebelum menjalankannya.
Project Bloks, Sebuah Inovasi untuk Pendidikan
Dengan memahami kebutuhan nyata anak-anak, Google Creative Lab berhasil menciptakan Project Bloks, sebuah media pembelajaran interaktif yang memungkinkan anak-anak cara menyusun coding menggunakan blok fisik.
Seperti namanya, Project Bloks terdiri dari elemen fisik berbentuk blok, yang terdiri dari pucks atau keping, base board dan brain board. Ketika dihubungkan bersama, ketiga blok ini dapat membentuk semacam urutan perintah yang sederhana. Pucks misalnya terdiri dari kepingan blok yang berisi jenis kontrol yang berbeda, seperti saklar hidup atau mati maupun panah arah.
Sementara base board merupakan jenis blok yang dilengkapi komponen elektronik dan memiliki konektor di semua sisi, sehingga dapat disatukan dalam sejumlah konfigurasi dan memungkinkan aliran pemrograman yang berbeda. Terakhir, brain board adalah unit pemrosesan dari keseluruhan Project Bloks. Blok satu ini bertugas menerima perintah dari base board, menafsirkan perintah itu, dan mengirimkannya melalui koneksi WiFi atau Bluetooth ke perangkat yang terhubung.
Dengan menggabungkan blok-blok ini, anak-anak dapat menciptakan alur kerja yang mengajarkan konsep dasar pemrograman seperti urutan, perulangan, dan pengambilan keputusan. Project Bloks berfokus pada kesederhanaan, kreativitas, dan interaksi fisik untuk memperkenalkan anak-anak pada dasar-dasar pemrograman.
Inovasi ini jelas merupakan contoh bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendidik anak-anak tentang literasi digital dengan cara yang intuitif dan menyenangkan. Dengan Project Bloks, tenaga pengajar juga dapat mengembangkan cara baru dalam mengajar dan mengeksplorasi pemrograman karena sifatnya yang adaptif.