Mengingat design thinking berfokus pada pelanggan, empati menjadi kian krusial bagi pengadopsi pendekatan ini. Faktanya, proses design thinking tidak dapat dimulai tanpa pemahaman yang lebih dalam tentang kebutuhan, pendapat, emosi, dan motivasi orang-orang. Kabar baiknya, semua pemahaman itu dapat diperoleh dengan berempati, yang merupakan pijakan awal design thinking.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, empati merupakan keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Sementara menurut Interaction Design Foundation, empati merupakan kemampuan untuk melihat dunia melalui mata orang lain. Tujuannya, supaya dapat melihat apa yang mereka lihat, merasakan apa yang mereka rasakan, dan mengalami hal-hal seperti yang mereka alami.
Human-Centered Design Toolkit dari firma desain dan konsultasi populer yang berbasis di Amerika sejak 1991, IDEO menekankan, empati dalam design thinking mengharuskan kita mempelajari kesulitan yang dihadapi orang dan mengungkap kebutuhan dan keinginan terpendam mereka untuk menjelaskan perilaku mereka. Meski tak ada seorang pun yang dapat sepenuhnya merasakan atau mengalami hal-hal seperti yang dialami orang lain, kita harus berusaha sedekat mungkin dengan hal ini.
Empati dengan Simpati
Banyak orang yang masih terkecoh dengan empati dan simpati, dan dalam menerapkan pendekatan design thinking, kekeliruan ini harus dihindari.
Apabila empati adalah tentang mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain dan sejenisnya, simpati berbicara mengenai kemampuan seseorang untuk menunjukkan kepedulian terhadap orang lain, tanpa harus memahami perasaan mereka atau mengalami apa yang orang lain lakukan.
Dengan kata lain, orang yang bersimpati seringkali tidak merasa terikat dan melibatkan perasaan iba atau kasihan. Perasaan ini tidak hanya berpotensi membuat orang salah paham, tetapi juga terbukti tidak berguna dalam pendekatan design thinking. Karena tujuan utama design thinking adalah memahami pelanggan dan bukan bereaksi terhadap kesulitan mereka dengan cara yang emosional.
Design thinking mengharuskan pengguna pendekatan ini untuk memposisikan diri sebagai pelanggan untuk memahami mereka dan apa yang mereka butuhkan. Semuanya dilakukan agar kita dapat menciptakan solusi yang membantu memecahkan masalah yang mereka hadapi, dan semua ini membutuhkan empati bukan simpati.
Manfaat Empati dalam Design Thinking
Empati sangat penting untuk pemecahan masalah melalui design thinking yang berpusat pada manusia karena memungkinkan perusahaan mengesampingkan asumsi mereka sendiri untuk mendapatkan wawasan nyata tentang pengguna dan kebutuhan mereka.
Dalam metodologi design thinking “i9” yang dirumuskan Innovesia, berempati merupakan kunci dari tahap pertama design thinking yakni Inspiration. Langkah ini membawa kita ke keadaan terkini. Temukan wawasan akan sebuah masalah dari situasi di sekitar, orang-orang di dalamnya, masalah lain yang terkait, dan banyak lagi untuk membantu kita menemukan solusi terbaik bagi mereka. Untuk mengetahuinya, mulailah dengan empati.
Empati adalah dasar dari design thinking. Sebagai “design thinker“, kita harus dapat memahami semua perasaan, pikiran, keluhan, harapan, dan kebiasaan orang-orang yang terhubung pada masalah yang sedang kita fokuskan. Karena itu, setiap indera, perasaan, dan pikiran harus difokuskan dan dipusatkan pada orang tersebut. Istilahnya dalam bahasa Inggris “putting ourselves into their shoes“. Pada tahap ini kita bisa bertanya apa saja, untuk dapat lebih memahami mereka.
Berikut tiga alasan mengapa empati sangat penting dalam design thinking:
1. Lebih memahami pelanggan
Karena design thinking berpusat pada pengguna, berempati bertujuan untuk mengembangkan pemahaman terbaik tentang pelanggan, kebutuhan mereka, dan masalah yang mendasari pengembangan produk atau layanan yang ingin dibuat.
Dengan memposisikan diri sebagai pelanggan, perusahaan mampu berinovasi sesuai kebutuhan aktual pelanggan daripada hanya berasumsi. Pemahaman ini juga bisa digunakan untuk mengadvokasi pelanggan potensial seputar mengapa suatu produk cocok untuk mereka.
Saat kita membenamkan diri dalam lingkungan orang yang kita target, seringkali kita bisa mendapatkan perspektif yang sama sekali berbeda dari yang diharapkan.
2. Mendorong kesuksesan bisnis
Empati dianggap sebagai komponen penting dari solusi bisnis karena empati memungkinkan perusahaan memperoleh wawasan penting tentang pelanggan dan hal ini krusial jika perusahaan ingin tetap relevan di pasar. Tanpa empati, besar kemungkinan perusahaan akan membuat solusi yang benar-benar meleset dari keinginan pasar.
Banyak pemimpin dalam bidang inovasi, pembelajaran, dan kewirausahaan telah menunjukkan tiga parameter kunci yang menentukan produk atau layanan yang sukses, yakni keinginan, kelayakan, dan kelangsungan hidup.
Artinya, tidaklah cukup bahwa produk itu ada dan membawa manfaat, tapi juga butuh pelanggan untuk merasakan keinginan terhadap produk atau layanan tersebut agar tetap kuat di pasar. Dengan kata lain, perusahaan hanya bisa merancang produk atau layanan yang diinginkan ketika kebutuhan, pengalaman, keinginan, dan preferensi orang dipahami dengan benar.
3. Empati membantu kita membaca yang tersirat
Daripada sekedar memahami apa yang orang katakan, empati memberi peluang bagi kita untuk secara menyeluruh memahami apa yang orang itu maksudkan. Pada aspek ini, empati sangat bermanfaat ketika pelanggan yang coba dipahami cenderung menutupi detail ketika mereka berbagi cerita dan informasi lainnya atau ketika mereka mengekspresikan diri mereka dengan cara yang kurang jelas.
Mereka mungkin menahan informasi karena takut, tidak percaya, atau faktor penghambat lainnya baik itu internal atau berdasarkan orang-orang yang terlibat dengan mereka. Interaction Design Foundation menekankan empati membantu kita memahami apa yang tidak dikatakan dan apa yang diisyaratkan di bawah ekspresi dan kata-kata eksternal.