prototype<\/em><\/p>\nHanya saja, semua prosedur pemecahan masalah dalam design thinking <\/em>dilakukan dengan berfokus pada pelanggan. Dengan kata lain, design thinking <\/em>adalah metode ilmiah yang diperluas untuk mencakup observasi terhadap perilaku pelanggan, termasuk emosi di balik perilaku mereka. Data itulah yang pada akhirnya digunakan untuk menciptakan solusi bagi masalah bisnis yang kompleks.<\/p>\ndesign thinking <\/em>
\ndesign thinking <\/em><\/p>\nMetode Ilmiah Berbasis Manusia<\/strong><\/p>\nMetode Ilmiah Berbasis Manusia<\/strong>
\ndesign thinking<\/em>
\ndesign thinking\u00a0<\/em><\/p>\nJika metode ilmiah unggul dalam memahami data objektif dan kuantitatif, design thinking <\/em>menawarkan cara untuk mengumpulkan dan memahami data subjektif dan kualitatif, seperti keinginan, kebutuhan, serta pengalaman pribadi pelanggan.\u00a0<\/p>\ndesign thinking <\/em><\/p>\nJenis data ini sangat membantu pada tahap awal proyek inovasi ketika mungkin banyak yang tidak perusahaan ketahui, bahkan masalah apa yang ingin kita selesaikan. Pada tahap awal inilah hipotesis dibentuk dari data dan wawasan pelanggan yang dikumpulkan dengan berempati.<\/p>\n
Alih-alih hanya berbasis pada teori dan teori, hipotesis dalam design thinking <\/em>diperoleh melalui riset untuk memahami kebutuhan pelanggan. Entah melalui wawancara langsung, atau mengamati interaksi mereka dengan produk. Melalui proses ini, tim dapat berempati dengan pelanggan dan tentunya memahami mereka sebagai manusia, bukan data semata.<\/p>\ndesign thinking <\/em><\/p>\nInnovesia percaya, inovasi tidak berasal dari teknologi, produk atau fitur, tetapi dari kebutuhan manusia, pola pikir, dan empati. Anggaplah seperti ini, jika inovasi hanya didasarkan pada metode ilmiah dan bukan design thinking, <\/em>perusahaan hanya berupaya memproduksi produk terbaik dengan parameter yang diciptakan sendiri tanpa ada validasi bahwa pelanggan benar-benar membutuhkan fitur atau produk baru itu.<\/p>\ndesign thinking, <\/em><\/p>\nDengan kata lain, parameter ini didasarkan pada asumsi perusahaan mengenai apa yang mungkin akan disukai atau dibutuhkan pelanggan. Walau perusahaan telah melalui riset, data yang dikumpulkan umumnya terbatas, misalnya mengenai tren masa lalu. Tetap saja, tanpa verifikasi maka tak ada yang bisa menjamin asumsi itu benar atau dalam kasus ini, tren masa lalu itu akan kembali disukai pelanggan.<\/p>\n
Atas dasar itu, karena design thinking <\/em>bekerja atau melibatkan pelanggan aktual dan tidak dibatasi oleh asumsi, maka hipotesis yang dirumuskan tentu akan lebih bermakna dan akurat. Setelah memiliki kumpulan kecil hipotesis yang divalidasi berdasarkan pemahaman induktif tentang pelanggan, kita selanjutnya siap untuk memecahkan masalah bisnis.<\/p>\ndesign thinking <\/em><\/p>\nTiga tahap design thinking <\/em>selanjutnya berlaku sebagai eksperimen, dimana dapat menguji konsep mana yang paling sesuai dengan parameter yang ditetapkan. Jika sukses, maka kita berhasil menciptakan produk yang kebutuhan pelanggan dan meningkatkan penjualan. Namun jika yang terjadi malah sebaliknya, fase pengujian akan dengan cepat menyoroti setiap kekurangan desain yang perlu ditangani.\u00a0<\/p>\ndesign thinking <\/em><\/p>\nArtinya, kita perlu kembali meninjau tahap empati atau menjalankan beberapa sesi pembuatan ide lagi sebelum membuat prototipe yang berhasil. Mengulangi proses design thinking <\/em>bisa meningkatkan pemahaman tentang produk dan penggunanya sedalam mungkin.<\/p>\ndesign thinking <\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"Di dunia bisnis yang berkembang begitu cepat saat ini, design thinking semakin populer karena berhasil menjadi kunci kesuksesan banyak organisasi terkemuka selama beberapa dekade terakhir. Namun, tahukah Anda bahwa dasar pemikiran design thinking sebenarnya berasal dari masa yang lebih jauh bahkan sebelum dunia mengenal filsuf Aristoteles. design thinking design thinking Ketika memahami design thinking dengan […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":431,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[143],"tags":[24,16,18,20,19],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/734"}],"collection":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=734"}],"version-history":[{"count":5,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/734\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2218,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/734\/revisions\/2218"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/431"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=734"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=734"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=734"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}