{"id":691,"date":"2023-05-09T16:42:29","date_gmt":"2023-05-09T09:42:29","guid":{"rendered":"https:\/\/designthinking.id\/?p=691"},"modified":"2023-10-18T08:51:17","modified_gmt":"2023-10-18T01:51:17","slug":"mengenal-metode-what-how-why-apa-pentingnya-dalam-inovasi","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/designthinking.id\/edukasi\/mengenal-metode-what-how-why-apa-pentingnya-dalam-inovasi\/","title":{"rendered":"Mengenal Metode What-How-Why, Apa Pentingnya dalam Inovasi?"},"content":{"rendered":"

design thinking.<\/em><\/p>\n

Dengan berempati, kita dituntut untuk mengesampingkan pembelajaran, budaya, pengetahuan, pendapat, dan pandangan yang dimiliki demi memahami pengalaman orang lain tentang berbagai hal secara mendalam dan bermakna. Agar berhasil, empati mengharuskan kita untuk meninggalkan prasangka terhadap orang lain.<\/p>\n

Walau empati merupakan bawaan lahir manusia, pendidikan, lingkungan, dan pengalaman kita sebelumnya dapat membentuk penilaian subjektif atau prasangka tentang orang lain yang membuat kita kesulitan mengenal atau memahami mereka.\u00a0<\/p>\n

Di banyak titik dalam proyek inovasi berdasarkan design thinking<\/em>, kita akan mewawancarai pelanggan, baik ketika mencoba membangun pemahaman tentang pengguna di tahap awal, maupun setelah menguji prototipe dengan mereka. Ketika melewati dua tahap ini, kita diharuskan mengajukan pertanyaan kepada mereka untuk menyelidiki lebih dalam emosi dan perilaku mereka.<\/p>\n

design thinking<\/em><\/p>\n

Selama wawancara, kita harus terus mengajukan pertanyaan \u201cMengapa?\u201d secara konstan, terlepas dari apakah kita mungkin berpikir sudah tahu jawabannya. Langkah ini penting dilakukan karena bukan tidak mungkin pelanggan akan memiliki jawaban sendiri yang menantang asumsi kita tentang mereka.\u00a0<\/p>\n

Karena itu, menjadi pendengar yang penuh empati ketika menjalankan proyek dengan pendekatan design thinking <\/em>bukanlah perkara mudah. Kita tak hanya dituntut untuk sekedar mendengarkan pelanggan, tapi juga memahami apa yang mereka katakan dan mendalami apa yang tidak mereka katakan.\u00a0<\/p>\n

design thinking <\/em><\/p>\n

Kabar baiknya, kita dapat belajar mengembangkan rasa empati untuk membentuk pemahaman yang mendalam dan tulus terhadap pelanggan. Terlebih, ada banyak teknik yang dapat digunakan untuk mengembangkan empati semacam ini, salah satunya melalui metode What-How-Why.\u00a0<\/em><\/p>\n

What-How-Why.\u00a0<\/em><\/p>\n

Apa itu metode <\/strong>What-How-Why?<\/em><\/strong><\/p>\n

apply now<\/a>
\nApa itu metode <\/strong>
\nWhat-How-Why?<\/em><\/strong>
\nWhat-How-Why?<\/em><\/p>\n

Interaction Design Foundation <\/em>mengartikan What-How-Why <\/em>sebagai alat yang dapat digunakan saat mengamati orang untuk membantu kita menyelami pengamatan dan mendapatkan tingkat pemahaman yang lebih dalam.<\/p>\n

Interaction Design Foundation <\/em>
\nWhat-How-Why <\/em><\/p>\n

Sementara Hasso Plattner Institute of Design<\/em> (d.school) di Stanford University<\/em>, merumuskan metode What-How-Why <\/em>sebagai alat yang memungkinkan kita beralih dari pengamatan konkret atas situasi tertentu ke emosi dan motif yang lebih abstrak yang berperan dalam situasi itu. Metode What-How-Why<\/em> disebut d.school sangat berguna untuk dimanfaatkan sebagai alat dalam menganalisis gambar yang mungkin kita ambil saat mengamati pelanggan.<\/p>\n

Hasso Plattner Institute of Design<\/em>
\nStanford University<\/em>
\nWhat-How-Why <\/em>
\nWhat-How-Why<\/em><\/p>\n

Lebih jelasnya, dengan metode What-How-Why, <\/em>kita mulai dengan pengamatan konkret atau \u2018Apa\u2019. Kemudian beralih ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi dengan menanyakan \u2018Bagaimana\u2018, sementara aspek \u2018Mengapa\u2019 merupakan pendorong emosional di balik perilaku orang yang juga perlu diamati. Berikut penjabaran lebih jelas mengenai metode What-How-Why:<\/em><\/p>\n

What-How-Why, <\/em>
\nWhat-How-Why:<\/em><\/p>\n

    \n
  1. What<\/strong><\/em><\/li>\n<\/ol>\n
  2. What<\/strong><\/em><\/li>\n

    What<\/strong><\/em>
    \nWhat<\/strong><\/p>\n

    Dalam what, <\/em>kita diharuskan mencatat detail dari apa yang terjadi. Apa yang pelanggan lakukan, apa yang terjadi di sekitarnya ketika ia melakukan hal itu, apa yang dipegangnya dan jelaskan sekonkret mungkin menggunakan kata sifat.<\/p>\n

    what, <\/em><\/p>\n

    2. How<\/em>\u00a0<\/strong><\/p>\n

    2. How<\/em>\u00a0<\/strong>
    \nHow<\/em><\/p>\n

    How <\/em>atau bagaimana mencoba menjelaskan bagaimana orang tersebut atau dalam hal ini pelanggan, melakukan apa yang dia lakukan. Misalnya, apakah orang tersebut berusaha keras atau apakah dia justru mengerutkan kening atau tersenyum saat menjelaskan sesuatu atau ketika mereka menggunakan produk atau layanan. Singkatnya, how <\/em>mengharuskan kita untuk menggambarkan dampak emosional produk atau layanan pada pelanggan.<\/p>\n

    How <\/em>
    \nhow <\/em><\/p>\n

    3. Why<\/em><\/strong><\/p>\n

    3. Why<\/em><\/strong>
    \nWhy<\/em><\/p>\n

    Terakhir, cobalah untuk menginterpretasikan adegan tersebut ketika memasuki aspek why<\/em>. Berdasarkan pengamatan pada what <\/em>dan how<\/em>, tebak pendorong emosional di balik orang yang kita amati. Orang tersebut mungkin mengerutkan kening karena dia khawatir akan melukai dirinya sendiri dalam prosesnya. Hal ini menandakan bahwa pelanggan kita kemungkinan mengkhawatirkan keselamatannya ketika berinteraksi dengan produk atau layanan.<\/p>\n

    why<\/em>
    \nwhat <\/em>
    \nhow<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

    design thinking. Dengan berempati, kita dituntut untuk mengesampingkan pembelajaran, budaya, pengetahuan, pendapat, dan pandangan yang dimiliki demi memahami pengalaman orang lain tentang berbagai hal secara mendalam dan bermakna. Agar berhasil, empati mengharuskan kita untuk meninggalkan prasangka terhadap orang lain. Walau empati merupakan bawaan lahir manusia, pendidikan, lingkungan, dan pengalaman kita sebelumnya dapat membentuk penilaian subjektif […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":695,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[143],"tags":[16,31,18],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/691"}],"collection":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=691"}],"version-history":[{"count":5,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/691\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2200,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/691\/revisions\/2200"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/695"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=691"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=691"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=691"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}