What-How-Why?<\/em><\/p>\nInteraction Design Foundation <\/em>mengartikan What-How-Why <\/em>sebagai alat yang dapat digunakan saat mengamati orang untuk membantu kita menyelami pengamatan dan mendapatkan tingkat pemahaman yang lebih dalam.<\/p>\nInteraction Design Foundation <\/em>
\nWhat-How-Why <\/em><\/p>\nSementara Hasso Plattner Institute of Design<\/em> (d.school) di Stanford University<\/em>, merumuskan metode What-How-Why <\/em>sebagai alat yang memungkinkan kita beralih dari pengamatan konkret atas situasi tertentu ke emosi dan motif yang lebih abstrak yang berperan dalam situasi itu. Metode What-How-Why<\/em> disebut d.school sangat berguna untuk dimanfaatkan sebagai alat dalam menganalisis gambar yang mungkin kita ambil saat mengamati pelanggan.<\/p>\nHasso Plattner Institute of Design<\/em>
\nStanford University<\/em>
\nWhat-How-Why <\/em>
\nWhat-How-Why<\/em><\/p>\nLebih jelasnya, dengan metode What-How-Why, <\/em>kita mulai dengan pengamatan konkret atau \u2018Apa\u2019. Kemudian beralih ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi dengan menanyakan \u2018Bagaimana\u2018, sementara aspek \u2018Mengapa\u2019 merupakan pendorong emosional di balik perilaku orang yang juga perlu diamati. Berikut penjabaran lebih jelas mengenai metode What-How-Why:<\/em><\/p>\nWhat-How-Why, <\/em>
\nWhat-How-Why:<\/em><\/p>\n\n- What<\/strong><\/em><\/li>\n<\/ol>\n
- What<\/strong><\/em><\/li>\n
What<\/strong><\/em>
\nWhat<\/strong><\/p>\nDalam what, <\/em>kita diharuskan mencatat detail dari apa yang terjadi. Apa yang pelanggan lakukan, apa yang terjadi di sekitarnya ketika ia melakukan hal itu, apa yang dipegangnya dan jelaskan sekonkret mungkin menggunakan kata sifat.<\/p>\nwhat, <\/em><\/p>\n2. How<\/em>\u00a0<\/strong><\/p>\n2. How<\/em>\u00a0<\/strong>
\nHow<\/em><\/p>\nHow <\/em>atau bagaimana mencoba menjelaskan bagaimana orang tersebut atau dalam hal ini pelanggan, melakukan apa yang dia lakukan. Misalnya, apakah orang tersebut berusaha keras atau apakah dia justru mengerutkan kening atau tersenyum saat menjelaskan sesuatu atau ketika mereka menggunakan produk atau layanan. Singkatnya, how <\/em>mengharuskan kita untuk menggambarkan dampak emosional produk atau layanan pada pelanggan.<\/p>\nHow <\/em>
\nhow <\/em><\/p>\n3. Why<\/em><\/strong><\/p>\n3. Why<\/em><\/strong>
\nWhy<\/em><\/p>\nTerakhir, cobalah untuk menginterpretasikan adegan tersebut ketika memasuki aspek why<\/em>. Berdasarkan pengamatan pada what <\/em>dan how<\/em>, tebak pendorong emosional di balik orang yang kita amati. Orang tersebut mungkin mengerutkan kening karena dia khawatir akan melukai dirinya sendiri dalam prosesnya. Hal ini menandakan bahwa pelanggan kita kemungkinan mengkhawatirkan keselamatannya ketika berinteraksi dengan produk atau layanan.<\/p>\nwhy<\/em>
\nwhat <\/em>
\nhow<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"design thinking. Dengan berempati, kita dituntut untuk mengesampingkan pembelajaran, budaya, pengetahuan, pendapat, dan pandangan yang dimiliki demi memahami pengalaman orang lain tentang berbagai hal secara mendalam dan bermakna. Agar berhasil, empati mengharuskan kita untuk meninggalkan prasangka terhadap orang lain. Walau empati merupakan bawaan lahir manusia, pendidikan, lingkungan, dan pengalaman kita sebelumnya dapat membentuk penilaian subjektif […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":695,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[143],"tags":[16,31,18],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/691"}],"collection":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=691"}],"version-history":[{"count":5,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/691\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2200,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/691\/revisions\/2200"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/695"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=691"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=691"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=691"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}