{"id":447,"date":"2023-05-17T12:48:00","date_gmt":"2023-05-17T05:48:00","guid":{"rendered":"https:\/\/designthinking.id\/?p=447"},"modified":"2023-10-18T08:57:59","modified_gmt":"2023-10-18T01:57:59","slug":"sederet-inovasi-yang-mengantarkan-tiktok-mengalahkan-youtube","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/designthinking.id\/teknologi\/sederet-inovasi-yang-mengantarkan-tiktok-mengalahkan-youtube\/","title":{"rendered":"Sederet Inovasi yang Mengantarkan TikTok Mengalahkan YouTube"},"content":{"rendered":"

We Are Social<\/em>
\n <\/em><\/p>\n

Sementara lebih banyak pengguna yang nyaman berlama-lama menyaksikan video di TikTok, durasi yang pengguna media sosial habiskan untuk berselancar di YouTube setiap bulannya, justru menurun 2 sampai 3 persen atau sekitar 30 menit pada 2022. Laporan yang sama mencatat, rata-rata pengguna YouTube secara global kini hanya menghabiskan 23,1 jam waktu mereka setiap bulannya untuk menyaksikan ragam acara di YouTube. <\/strong>Padahal, jumlah pengguna YouTube tercatat dua kali lipat dari pengguna TikTok.<\/p>\n

<\/strong><\/p>\n

Tak hanya persaingannya dengan YouTube, TikTok juga berhasil mengalahkan kompetitor media sosial lainnya, termasuk Instagram, Twitter, Facebook dan platform perpesanan WhatsApp. We Are Social <\/em>mencatat, rata-rata setiap orang hanya menghabiskan 12 jam waktunya dalam sebulan untuk bermain Instagram, 19,7 jam untuk Facebook, 17,3 jam untuk WhatsApp dan hanya 5,5 jam untuk Twitter.<\/p>\n

We Are Social <\/em><\/p>\n

Di Indonesia sendiri, fenomenanya tidak berbeda di mana TikTok tetap menjadi media sosial dengan durasi screentime <\/em>tertinggi. Bagaimana tidak, <\/strong>rata-rata pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan 29 jam dari waktu mereka setiap bulannya untuk bermain TikTok.\u00a0<\/p>\n

screentime <\/em>
\n, <\/strong><\/p>\n

Angka ini menunjukkan screentime <\/em>yang dihabiskan pengguna TikTok di Indonesia, 5 jam lebih banyak dari rata-rata dunia. Tak heran jika\u00a0 Indonesia merupakan negara kedua dengan durasi screentime <\/em>TikTok per bulan tertinggi di dunia. Terlampau jauh, Instagram dan YouTube hanya mampu menarik penggunanya masing-masing selama 23,1 jam dan 12 jam dari waktu mereka setiap bulannya.<\/p>\n

screentime <\/em>
\nscreentime <\/em><\/p>\n

TikTok vs Youtube<\/strong><\/h3>\n

TikTok vs Youtube<\/strong><\/p>\n

\"\"
Ilustrasi Youtube (Olly Curtis\/Future\/Getty Images)<\/figcaption><\/figure>\n

\"\"

Ilustrasi Youtube (Olly Curtis\/Future\/Getty Images)<\/figcaption>

Jika media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter mengharuskan kita untuk masuk atau sign in <\/em>lalu kemudian melacak minat pengguna yang dapat disimpulkan dari minat temannya dan grup yang diikutinya. TikTok dan YouTube yang merupakan media hiburan justru merangkum minat pengguna berdasarkan respon pengguna atas konten yang ditawarkan kedua platform itu untuk mengidentifikasi sesuatu yang menarik bagi kita dan selanjutnya mengirim lebih banyak konten sejenis.\u00a0<\/p>\n

sign in <\/em><\/p>\n

Lantas apa yang membuat TikTok lebih unggul dari YouTube? Berikut tiga alasan utama dibalik kesuksesan TikTok sebagai media hiburan berbasis video.<\/p>\n

1. Gulir video singkat tanpa akhir<\/strong><\/p>\n

1. Gulir video singkat tanpa akhir<\/strong><\/p>\n

Salah satu alasan utama mengapa TikTok bisa kian populer adalah karena inovasi yang dilakukan ByteDance, sebuah perusahaan teknologi asal China. Jika selama ini kita lebih dekat dengan format video horizontal seperti yang dipakai televisi, komputer hingga film-film modern, TikTok justru memilih menyajikan video berformat vertikal yang menyesuaikan bentuk gawai pintar dengan fitur layar sentuh atau touchscreen.<\/em><\/p>\n

touchscreen.<\/em>
\nsmartphone, <\/em>
\nsmartphone <\/em>
\nsmartphone <\/em>
\nsmartphone.<\/em><\/p>\n

Namun, perlu dicatat bahwa konten media sosial dalam format video vertikal lebih dulu dikenalkan Snapchat pada 2011. Dengan inovasi berupa foto atau video pendek berdurasi 10 detik yang dikirim ke teman, juga fitur \u201cStories\u201d Snapchat berhasil mencicipi kesuksesan.<\/p>\n

Walaupun demikian, apa yang ditawarkan TikTok jelas lebih dari video berformat vertikal biasa. Lebih dari itu, TikTok menawarkan video vertikal berdurasi singkat yang bisa pengguna nikmati dengan hanya menggulir smartphone <\/em>mereka. Hal inilah yang membuat satu miliar pengguna TikTok menghabiskan rata-rata 95 menit per hari di TikTok, dan menjadikannya sebagai media sosial di mana pengguna menghabiskan waktu paling banyak setiap harinya.<\/p>\n

smartphone <\/em>
\nHubSpot Blog\u2019s 2023 Marketing Strategy & Trends Report<\/em>
\n, <\/em>
\ndigital marketing<\/em><\/p>\n

Video singkat TikTok memang dirancang untuk rentang perhatian yang singkat, tetapi mengarahkan keinginan orang untuk menonton lebih banyak video. Pasalnya, TikTok menyajikan video dalam scroll<\/em> tanpa akhir di mana pengguna dapat menyaksikan lebih banyak video dengan tetap berada di halaman yang sama.<\/p>\n

scroll<\/em><\/p>\n

Sementara TikTok dioptimalkan untuk keterlibatan yang membuat ketagihan, YouTube cenderung menyajikan video untuk tujuan umum. Selain format konten utamanya yang horizontal, gulir feed <\/em>YouTube mengharuskan penggunanya pergi ke halaman berbeda untuk menyaksikan video dalam format penuh. Meski YouTube telah memungkinkan pengguna untuk menyaksikan penggalan atau bahkan seluruh isi video di feed, <\/em>tidak semua video bisa demikian.<\/p>\n

feed <\/em>
\nfeed, <\/em><\/p>\n

2. Konten yang lebih cair dan mudah dibuat<\/strong><\/p>\n

2. Konten yang lebih cair dan mudah dibuat<\/strong><\/p>\n

Inovasi lain yang di bawa TikTok dan mengubah lanskap media sosial adalah ia membawa kemudahan dalam mengunggah konten berbasis video yang tidak dimiliki YouTube. Untuk mengunggah video pada kanal YouTube, pengguna harus melalui tahapan produksi yang lebih rumit dan seringkali melibatkan peralatan yang lebih profesional. Tak heran jika banyak YouTuber populer memiliki tim produksi, kantor, juru kamera, dan editor.<\/p>\n

Sebaliknya, TikTok memberikan jalan keluar untuk masalah ini di mana pengguna dapat merekam, mengedit dan mengunggah video hanya dalam satu aplikasi TikTok. Meskipun pasti ada profesionalisme di TikTok, banyak unggahan TikTok yang menarik jutaan penayangan dibuat secara pribadi oleh pemilik akun.\u00a0<\/p>\n

Pengguna bahkan tidak memerlukan ide, karena apa yang kita tonton di TikTok itu sendiri bisa menjadi ide konten. Misalnya, kita dapat menanggapi konten orang lain, menggabungkan video kreator lain dengan video sendiri melalui fitur stich, <\/em>hingga mengikuti beragam challenge <\/em>dengan mengambil suara asli <\/strong>dari konten orang lain. Konten tantangan atau challenge <\/em>memang menjadi salah satu penggerak TikTok, terutama yang berhubungan dengan lagu dan tarian.<\/p>\n

stich, <\/em>
\nchallenge <\/em>
\n <\/strong>
\nchallenge <\/em><\/p>\n

Selain itu, TikTok juga memberikan ruang terbuka bagi penggunanya untuk mengemukakan pendapat mereka. Mulai dari mengomentari isi konten orang lain, mengkritisi kebijakan, selebriti hingga politisi. Cara para pengguna menyampaikan aspirasinya pun beragam, seperti meniru gaya bicara orang yang dikritisi sampai membuat meme satir.<\/p>\n

Menyaingi Instagram, TikTok telah menjelma sebagai platform potensial bagi brand <\/em>untuk mendistribusikan pesan kampanye atau iklan. Banyak brand <\/em>menyewa influencer<\/em> di TikTok untuk mempromosikan produk, terutama fesyen, kosmetik, dan makanan. Terlebih, seiring meningkatnya popularitas video singkat sebagai medium periklanan digital, TikTok diprediksi akan menjadi platform pertemuan bagi banyak brand <\/em>dan influencer.\u00a0<\/em><\/p>\n

brand <\/em>
\nbrand <\/em>
\ninfluencer<\/em>
\nbrand <\/em>
\ninfluencer.\u00a0<\/em><\/p>\n

Jika YouTube lebih banyak memberi kesempatan bagi para macro influencer<\/em> dengan jutaan pengikut, TikTok menjadi tempat yang pas bagi brand <\/em>untuk membidik ceruk pasar yang lebih spesifik melalui nano dan micro influencer. <\/em>Meski begitu, TikTok juga menjadi platform yang pas bagi brand <\/em>untuk diserang. Tak sedikit pengguna yang membagikan pengalaman negatif mereka dengan suatu produk atau brand <\/em>di TikTok.<\/p>\n

macro influencer<\/em>
\nbrand <\/em>
\nmicro influencer. <\/em>
\nbrand <\/em>
\nbrand <\/em><\/p>\n

3. Algoritma sound<\/em> viral<\/strong><\/p>\n

3. Algoritma sound<\/em> viral<\/strong>
\nsound<\/em><\/p>\n

Tak berbeda jauh dengan Instagram, algoritma TikTok juga mendasarkan rekomendasi pada interaksi pengguna dengan konten yang berseliweran di aplikasi. Adapun interaksi dalam hal ini mengacu pada hal apapun yang menawarkan petunjuk tentang jenis konten yang disukai atau tidak disukai pengguna.<\/p>\n

Tapi ada satu inovasi yang membuat TikTok unggul, yaitu suara atau musik yang sedang tren. Ya, dengan suara yang sedang tren, algoritma TikTok dapat mengidentifikasi sekelompok orang yang cenderung akan tertarik dengan video berdasarkan interaksi pengguna sebelumnya. Dengan kata lain, jika pengguna menonton suatu video sampai akhir setiap kali suara tertentu digunakan, mereka mungkin menikmati konten tersebut dan ingin menonton lebih banyak konten sejenis.<\/p>\n

Suara bahkan menjadi salah satu dari jenis informasi video yang merupakan faktor utama yang memengaruhi algoritma TikTok selain interaksi pengguna dan pengaturan perangkat. Jika interaksi pengguna didasarkan pada cara Anda berinteraksi dengan pengguna lain di aplikasi, sinyal informasi video didasarkan pada konten yang cenderung Anda cari melalui fitur pencarian atau search<\/em>. Informasi video sendiri mencakup banyak hal, seperti caption, hashtag<\/em> dan suara atau musik yang disematkan dalam suatu konten.<\/p>\n

search<\/em>
\ncaption, hashtag<\/em><\/p>\n

Pada akhir Juni 2022, Deighton dan Kornfeld dikejutkan dengan penyebaran lagu \u201cVictoria\u2019s Secret\u201d, sebuah lagu yang ditulis oleh penyanyi sekaligus penulis lagu bernama Jax. Melansir laman Harvard Business School, lagu yang ditulis\u00a0 sebagai tanggapan atas rebranding kepositifan tubuh oleh pengecer pakaian dalam Victoria\u2019s Secret itu seketika viral hingga memasuki tangga lagu Billboard sebulan kemudian. Penyebarannya pun lima kali lebih cepat dari video lainnya yang pernah dipelajari kedua profesor itu.<\/p>\n

Deighton dan Kornfeld kemudian menemukan bahwa lagu itu tidak menyebar dari orang ke orang, tetapi dengan algoritma TikTok. Menurut keduanya, lagu itu menyebar karena algoritma memperhatikan bahwa jika lagu itu disajikan kepada orang-orang di TikTok, dan banyak dari mereka yang \u201cmenyukainya\u201d, maka puluhan ribu pengguna akan menggunakan lagu itu sebagai latar musik dari video mereka hanya dalam beberapa hari saja.<\/p>\n

TikTok memang telah menjadi semacam media promosi bagi para musisi. Zico misalnya, idola K-pop itu berhasil membawa lagu \u201cAny Song\u201d merajai tangga lagu berkat konten \u201cAny Song Challenge\u201d yang populer di TikTok pada 2020.\u00a0<\/p>\n

Kala itu, Zico mengajak sejumlah artis dan penggemarnya untuk meniru koreografi \u201cAny Song\u201d dan mengunggahnya di TikTok. Tak hanya di Korea Selatan, demam \u201cAny Song\u201d meluas tak terkecuali di Indonesia. Banyak selebriti tanah air yang ikut memeriahkan challenge <\/em>itu, termasuk pesepakbola Irfan Bachdim. Kini, banyak idola K-pop yang menciptakan challenge <\/em>serupa ketika mereka mengeluarkan lagu atau album baru.<\/p>\n

challenge <\/em>
\nchallenge <\/em><\/p>\n

Penting untuk dicatat bahwa suara yang sedang tren bukan hanya tarian viral. Brand<\/em> juga dapat menggunakan suara inti <\/em>untuk mendorong kontennya mendapatkan visibilitas ke audiens yang lebih luas. Pasalnya menurut Hootsuite, Sekitar 67% pengguna TikTok mengatakan mereka lebih suka video brand <\/em>yang menampilkan lagu-lagu populer atau yang sedang tren.<\/p>\n

Brand<\/em>
\n <\/em>
\nbrand <\/em><\/p>\n

Dengan menggunakan suara yang sedang tren, video brand skincare<\/em> Skincian berhasil menerima 50.900 penayangan, dan 2.142 likes<\/em>, yang membantu brand <\/em>itu memperkenalkan diri dan produk mereka kepada audiens TikTok.<\/p>\n

brand skincare<\/em>
\nlikes<\/em>
\nbrand <\/em><\/p>\n

Masa depan TikTok<\/strong><\/h3>\n

Masa depan TikTok<\/strong><\/p>\n

\"\"
Ilustrasi seorang remaja sedang bermain media sosial (Freepik)<\/figcaption><\/figure>\n

\"\"

Ilustrasi seorang remaja sedang bermain media sosial (Freepik)<\/figcaption>

Dengan jumlah pengguna TikTok yang dilaporkan mengalami peningkatan 18,8% dalam setahun terakhir, banyak yang bisa diharapkan dari TikTok. Baru-baru ini, TikTok mengumumkan akan memungkinkan pengguna untuk mengunggah video dengan durasi yang lebih panjang, bahkan hingga 10 menit.<\/p>\n

Menurut John Deighton yang merupakan profesor emeritus di Harvard Business School sekaligus pakar pemasaran digital, durasi video lebih panjang ditambahkan TikTok demi menciptakan lebih banyak peluang untuk beriklan seperti yang dimiliki YouTube.\u00a0<\/p>\n

Meski menjadi media sosial dengan rata-rata screentime <\/em>pengguna tertinggi, pendapatan TikTok masih tergolong kecil dibandingkan YouTube. TikTok diprediksi hanya berhasil mencatatkan pendapatan tahunan sekitar USD 4 miliar, jauh di bawah YouTube dengan USD 28,8 miliar per tahun.<\/p>\n

screentime <\/em><\/p>\n

Apa yang dirasakan TikTok saat ini sejatinya juga pernah dialami YouTube. Pertumbuhan pendapatan YouTube yang signifikan sendiri terjadi setelah platform itu menerapkan inisiatif untuk memastikan bahwa brand-brand <\/em>besar ingin menginvestasikan dana pemasaran di sana. TikTok mungkin menganggap jalur YouTube sangat menarik hingga mendorongnya mengeluarkan program bagi hasil iklan yang tersedia untuk 4 persen pembuat konten atau content creator <\/em>teratas.<\/p>\n

brand-brand <\/em>
\ncontent creator <\/em><\/p>\n

Terlepas dari iklan, TikTok mungkin mengejutkan kita dengan inovasi ke arah yang tidak terduga. Menurut analisa Deighton, besarnya jumlah pengguna TikTok yang mencapai 1,05 miliar dapat mendorong TikTok ke arah super app <\/em>seperti WeChat. Media sosial yang memulai debutnya sebagai aplikasi perpesanan itu berhasil menambahkan sejumlah fitur seperti konferensi video, permainan, layanan perbankan, hingga sistem pembayaran hanya dalam satu aplikasi.\u00a0<\/p>\n

super app <\/em><\/p>\n

TikTok sendiri memang tak berhenti berinovasi dengan menambahkan fitur baru, termasuk live commerce<\/em> yang memungkinkan merchant<\/em> dan para kreator memamerkan dan menjual produk yang mereka promosikan. Fitur live streaming<\/em> telah diprediksi menjadi tren baru dalam dunia e-commerce<\/em> di Asia Pasifik, tak terkecuali di tanah air.<\/p>\n

look at this site<\/a>
\nlive commerce<\/em>
\nmerchant<\/em>
\nlive streaming<\/em>
\ne-commerce<\/em><\/p>\n

Head of Solutions Architecture in ASEAN, Paul Chen, mengemukakan jumlah konsumen yang menggunakan layanan live streaming mencapai 400 juta di Asia Pasifik. Pasar video streaming juga diperkirakan akan bernilai USD 247 miliar pada 2027.\u00a0<\/p>\n

E-commerce Trends 2022 Indonesia<\/em>
\nlive streaming<\/em>
\nlive commerce <\/em><\/p>\n

Live commerce <\/em>memang memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan sistem penjualan marketplace <\/em>pada umumnya. Dengan live commerce, merchant <\/em>atau kreator dapat membangun engagement<\/em> dengan pembeli, seperti memunculkan fisik produk, juga melakukan sesi tanya jawab mengenai karakteristik dan harga produk melalui kolom komentar.<\/p>\n

Live commerce <\/em>
\nmarketplace <\/em>
\nlive commerce, merchant <\/em>
\nengagement<\/em><\/p>\n

Namun, untuk melangkahi WeChat dengan menjadi super app<\/em> berskala global, TikTok harus menyelesaikan berbagai rintangan yang timbul dari identitasnya sebagai produk China, khususnya untuk menembus pasar Amerika.<\/p>\n

super app<\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

We Are Social Sementara lebih banyak pengguna yang nyaman berlama-lama menyaksikan video di TikTok, durasi yang pengguna media sosial habiskan untuk berselancar di YouTube setiap bulannya, justru menurun 2 sampai 3 persen atau sekitar 30 menit pada 2022. Laporan yang sama mencatat, rata-rata pengguna YouTube secara global kini hanya menghabiskan 23,1 jam waktu mereka setiap […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":448,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[149,144],"tags":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/447"}],"collection":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=447"}],"version-history":[{"count":7,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/447\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2202,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/447\/revisions\/2202"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/448"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=447"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=447"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=447"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}