{"id":430,"date":"2023-06-06T12:41:00","date_gmt":"2023-06-06T05:41:00","guid":{"rendered":"https:\/\/designthinking.id\/?p=430"},"modified":"2023-10-17T20:59:41","modified_gmt":"2023-10-17T13:59:41","slug":"mengenal-design-thinking-pengertian-manfaat-dan-tahapan-lengkap","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/designthinking.id\/edukasi\/mengenal-design-thinking-pengertian-manfaat-dan-tahapan-lengkap\/","title":{"rendered":"Patriotamat Locakzp"},"content":{"rendered":"

Dewasa ini, di mana inovasi menentukan kesuksesan dan pertumbuhan bisnis, kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah design thinking<\/em>. Pasalnya, popularitas design thinking <\/em>telah berjalan selama beberapa dekade terakhir karena berhasil menjadi kunci kesuksesan banyak organisasi global terkemuka. Perusahaan ternama seperti Apple, Google, dan Samsung, bahkan telah mengadopsi pendekatan design thinking<\/em> dalam operasional mereka.<\/p>\n

Banyak orang mengira bahwa design thinking <\/em>adalah kegiatan khusus untuk para penggemar desain. Memang, pada awalnya hal tersebut digunakan oleh perusahaan desain produk atau layanan di Amerika Serikat. Namun, design thinking <\/em>sejatinya mudah diadaptasi oleh berbagai latar belakang disiplin ilmu. Satu hal utama dari design thinking<\/em> adalah bagaimana membentuk pola pikir terhadap inovasi untuk menghasilkan solusi yang relevan serta menjawab kebutuhan pelanggan, dan ini dapat dipelajari oleh tiap individu dengan latar belakang apapun.<\/p>\n

Berbeda dari proses atau metode inovasi lainnya, design thinking <\/em>digambarkan sebagai sebuah proses dan pola pikir untuk berempati dengan masalah yang berfokus pada manusia, untuk kemudian menemukan pendekatan dan ide-ide inovatif melalui visualisasi dan purwarupa. Design thinking<\/em> menekankan pada siklus berpikir terus menerus, dengan menyediakan ruang untuk improvisasi yang terus berempati-uji-kegagalan-sukses-empati dan sebagainya. <\/p>\n

Proses design thinking <\/em>yang berulang meningkatkan kemampuan seseorang untuk mempertanyakan masalah, meragukan asumsi dan implikasinya. Karena itulah aplikasi design thinking <\/em>mendorong perusahaan untuk menciptakan solusi yang memenuhi kebutuhan nyata pelanggan mereka. Atas dasar itu, mempelajari tahapan design thinking <\/em>akan memungkinkan siapapun untuk mencapai keunggulan kompetitif, dan tentunya menuai keuntungan finansial dengan menciptakan produk yang dibentuk oleh kebutuhan manusia.<\/p>\n

Tahapan dalam Design Thinking<\/em><\/strong><\/p>\n

Design thinking<\/em> bukanlah istilah baru. Gagasan ini diketahui mulai diperbincangkan sebagai bentuk pemecahan masalah kreatif pada tahun 1960-an silam. Istilah design thinking <\/em>pertama kali dipakai oleh John E. Arnold dalam bukunya \u201cCreative Engineering\u201d pada 1959. <\/p>\n

Dalam praktiknya, intisari design thinking <\/em>yang dikenalkan pada tahun 1960-an silam itu diturunkan ke dalam beberapa tahapan design thinking<\/em> yang dikenal umum saat ini, salah satunya oleh Innovesia, yang merupakan perusahaan konsultasi yang berfokus pada inovasi bisnis.<\/p>\n

Innovesia memiliki metodologi yang berfokus pada manusia (human-centered)<\/em> baik sebagai pengguna dari produk atau jasa yang bisnis sediakan maupun sebagai bagian dari pelaksana di dalam ekosistemnya. <\/em>Berdasarkan beberapa sumber metodologi design thinking<\/em>, Innovesia merumuskan metodologinya <\/em>menjadi tiga tahapan besar, yakni inspiration, ideation, <\/em>dan implementation. <\/em>Agar lebih spesifik, ketiga tahapan besar ini kemudian diturunkan lagi ke dalam 9 bagian yang disebut sebagai \u201cThe 9i\u201d.<\/p>\n

\n
\"\"
Tahapan metodologi design thinking <\/em>oleh Innovesia.<\/figcaption><\/figure>\n<\/div>\n

Berikut penjelasan lengkap mengenai tahapan design thinking <\/em>yang dirumuskan oleh Innovesia<\/a>:<\/p>\n

1. <\/strong>Inspiration<\/em><\/strong><\/p>\n

Langkah pertama dari metode design thinking<\/em> Innovesia adalah Inspiration.<\/em> Langkah ini membawa kita ke keadaan terkini. Temukan wawasan akan sebuah masalah dari situasi di sekitar, orang-orang di dalamnya, masalah lain yang terkait, dan banyak lagi untuk membantu kita menemukan solusi terbaik bagi mereka. Untuk mengetahuinya, mulailah dengan empati.<\/p>\n

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, empati merupakan keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.<\/p>\n

Empati adalah dasar dari design thinking<\/em>. Sebagai “design thinker<\/em>“, kita harus dapat memahami semua perasaan, pikiran, keluhan, harapan, dan kebiasaan orang-orang yang terhubung pada masalah yang sedang kita fokuskan. Karena itu, setiap indera, perasaan, dan pikiran harus difokuskan dan dipusatkan pada orang tersebut. Istilahnya dalam bahasa Inggris “putting ourselves into their shoes<\/em>“. Pada tahap ini kita bisa bertanya apa saja, untuk dapat lebih memahami mereka.<\/p>\n

Berikut tiga fase dalam tahapan inspiration <\/em>yang harus dilakukan untuk memulai proses design thinking:<\/em><\/p>\n

a. Induction<\/em><\/p>\n

Untuk memulai design thinking<\/em>, kita harus menemukan insight<\/em> atau wawasan dari permasalahan yang dihadapi agar solusi yang dihasilkan tepat sasaran. Seperti disinggung sebelumnya, tahap induction <\/em>sendiri dilakukan untuk memahami kebutuhan pelanggan.<\/p>\n

Adapun induction <\/em>dalam design thinking <\/em>dilakukan dengan mengamati apa yang dilakukan pelanggan dan cara mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam bisnis, lingkungan di sini bisa diartikan sebagai bagaimana pelanggan berinteraksi dengan produk dan jasa yang dimiliki perusahaan. Tentunya, tahapan induction <\/em>harus didasari pada empati.<\/p>\n

Empati sangat penting untuk pemecahan masalah melalui design thinking <\/em>yang berpusat pada manusia karena memungkinkan kita mengesampingkan asumsi mereka sendiri untuk mendapatkan wawasan nyata tentang pengguna dan kebutuhan mereka.<\/p>\n

b. Inspection<\/em><\/p>\n

Untuk mendapatkan insight <\/em>dari masalah dalam design thinking<\/em>, kita perlu menerapkan apa yang disebut sebagai contextual thinking. <\/em>Menurut definisi, contextual thinking <\/em>adalah cara berpikir yang melibatkan cakupan, kedalaman, dan pemahaman yang luas terkait suatu isu atau masalah.<\/p>\n

Faktanya, konteks merupakan salah satu aspek krusial design thinking. <\/em>Dalam design thinking, <\/em>konteks merujuk pada keadaan, latar belakang, atau lingkungan di mana seseorang, benda, atau ide ada atau terjadi. <\/p>\n

Atas dasar itu, dalam design thinking <\/em>kita haruslah mempertimbangkan konteks karena hal ini menentukan tujuan, desain dan fungsi dari sebuah desain. Sebaliknya, tanpa konteks, desain yang dibuat bisa tidak memenuhi potensinya karena gagal memenuhi kebutuhan pelanggan.<\/p>\n

c. Immersion<\/em><\/p>\n

Secara harfiah, immersion <\/em>dapat diartikan sebagai keterlibatan penuh terhadap suatu aktivitas. Dalam design thinking <\/em>yang mengedepankan empati, kita dituntut untuk memposisikan diri di posisi orang lain untuk mendapatkan pengalaman langsung. Immersion <\/em>memungkinkan kita untuk mengartikulasikan apa yang dirasakan orang lain yang hendak kita desain (bantu penyelesaian masalahnya).<\/p>\n

Immersion <\/em>pada design thinking <\/em>menjadi krusial lantaran tak sedikit orang yang kesulitan untuk mengungkapkan kebutuhan dan keinginan terpendam mereka, entah itu karena keterbatasan bahasa, rasa tertekan atau bahkan ketakutan mereka untuk terbuka dan disalahpahami. Sebaliknya, immersion <\/em>membantu membuka peluang untuk memahami apa yang terjadi di bawah permukaan, atau dalam hal ini alam bawah sadar orang lain. Alhasil, <\/em>kita mengajukan pertanyaan yang membuat pengguna merasa dipahami secara emosional.<\/p>\n

Singkatnya, immersion <\/em>kian penting karena memungkinkan kita mencari solusi yang memuaskan secara emosional karena kita dapat terhubung dengan mereka yang memerlukan sebuah solusi akan permasalahannya.<\/p>\n

2. Ideation<\/em><\/strong><\/p>\n

\"\"
Tahap Ideation design thinking<\/em> bersama Innovesia<\/figcaption><\/figure>\n

Pada tahap kedua, kita harus membangun banyak ide. Setelah mendapatkan wawasan dan inspirasi, inilah saatnya untuk menghasilkan solusi. Untuk memulai, tetapkan apa yang benar-benar diinginkan pelanggan dengan ‘pekerjaan yang harus dilakukan’, dan bangun sebuah ide untuk menciptakan solusi yang paling cocok untuk mereka. <\/p>\n

Hasil dari berempati menjadi bahan bagi kita untuk mendefinisikan setiap temuan pengamatan, keterlibatan, dan observasi lapangan. Dalam tahap ini, kita memperhatikan setiap detail data dan informasi yang ditemukan. Kemudian, fokus kembali pada wawasan, kebutuhan, dan ruang lingkup tantangan yang dihadapi orang tersebut. <\/p>\n

Hasil dari tahap ini juga menentukan pernyataan masalah atau rumusan masalah dan tantangan yang dihadapi oleh orang tersebut dan juga apa ruang lingkup inovasi yang akan dilakukan.  <\/p>\n

Jika pernyataan masalah telah dirumuskan dengan fokus dan tepat, maka langkah selanjutnya adalah menghasilkan berbagai ide untuk mengatasi tantangan dan memenuhi kebutuhan orang tersebut.<\/p>\n

Sedikitnya ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam ideation, <\/em>yakni:<\/p>\n

a. Identification<\/em><\/p>\n

Setelah mengumpulkan banyaknya temuan dari pelanggan selama proses berempati, design thinking <\/em>dilanjutkan dengan menentukan masalah pelanggan yang ingin diselesaikan. <\/em><\/p>\n<\/p>\n

Untuk melakukannya, kita harus menyatukan semua temuan selama proses berempati pada langkah Inspiration<\/em>. Tahap ini berguna untuk menemukan pola umum atau masalah inti terkait kebutuhan pelanggan yang secara konsisten muncul selama proses berempati.<\/p>\n

best place to buy<\/a><\/p>\n

Proses identification <\/em>membantu kita untuk memiliki pernyataan masalah yang jelas yang akan memandu kita selama proses design thinking.<\/em><\/p>\n

b. Imagination<\/em><\/p>\n

Usai mengidentifikasi sejumlah pernyataan masalah, langkah selanjutnya adalah menghasilkan ide atau solusi dari masalah yang hendak diselesaikan. <\/p>\n

Setelah mengenal pelanggan dan apa yang mereka inginkan atau masalah yang mereka temui, perusahaan yang mengadopsi metode design thinking <\/em>dijamin akan mampu melihat masalah dari perspektif yang berbeda dan menemukan solusi inovatif untuk pernyataan masalah kita.<\/p>\n

Perlu diingat bahwa tahapan ini merupakan zona bebas penilaian di mana pelaku inovasi didorong untuk menjauh dari norma, dan mengeksplorasi sudut pandang baru. <\/p>\n

Adapun untuk menghasilkan banyak ide atau solusi, kita bisa menggunakan tools <\/em>untuk merangsang kreativitas dan menghasilkan solusi yang sesuai. Teknik brainstorming <\/em>misalnya dapat merangsang pemikiran bebas dan memperluas ruang masalah. Metode ini memungkinkan kita untuk menghasilkan ide sebanyak mungkin di awal.<\/p>\n

c. Inception<\/em><\/p>\n

Pada tahap ini, kita dituntut untuk merujuk kembali pada pernyataan masalah dan meragukan sejumlah ide atau solusi yang telah dikantongi pada tahap imagination<\/em>. Hal ini berguna untuk menguji solusi mana yang paling baik untuk menjawab masalah yang dimiliki pelanggan. <\/p>\n

Atas dasar itu, Inception <\/em>harus dilakukan dengan pola pikir yang berpusat pada pelanggan dan bukan sebagai keinginan atau kebutuhan perusahaan semata. Sebaiknya, gunakan teknik ide lain untuk menguji semua ide untuk mempersempitnya. Ide-ide yang telah lulus tahap validasi inilah yang selanjutnya akan dijadikan prototype <\/em>untuk diujikan.<\/p>\n

3. Implementation<\/strong><\/p>\n

\"\"
Image by <\/figcaption><\/figure>\n

Melanjutkan proses design thinking <\/em>kita kini diharuskan untuk membuat ide yang terseleksi menjadi kenyataan dengan membuat purwarupa atau prototype. <\/em><\/p>\n

Dalam tahapan ini, kita fokus pada ide-ide yang paling mungkin dan terbaik untuk purwarupa yang akan dibuat. <\/em>Tujuan dari tahap pembuatan prototipe ini adalah untuk mengubah ide menjadi sesuatu yang real <\/em>yang dapat diuji pada pelanggan.<\/p>\n

Jadi, hal penting dari purwarupa adalah dapat menggambarkan ide yang ingin diwujudkan dan membuat semua orang dapat berinteraksi dengan ide tersebut. Kemudian, uji ke target pelanggan untuk mendapatkan wawasan, ulangi dan berikan cerita kepada target pelanggan untuk menciptakan dampak yang lebih tahan lama. <\/p>\n

Seperti dua tahapan besar sebelumnya, implementation <\/em>juga dibagi ke dalam tiga sub tahapan, antara lain:<\/p>\n

a. Installation<\/em><\/p>\n

Pada dasarnya, prototype <\/em>merupakan model atau contoh produk atau fitur yang diproduksi agar pengembang dan klien dapat melakukan evaluasi. Prototype <\/em>dapat dalam bentuk apapun, dari hal-hal sederhana seperti gambar pada selembar kertas, atau arsitek bangunan bergaya sketsa, atau prototype<\/em> yang lebih maju dari program atau aplikasi komputer. <\/p>\n

Setelah membuat prototype,<\/em> ini saatnya untuk menempatkan prototipe di depan pelanggan sesungguhnya dan melihat bagaimana mereka bereaksi dan berinteraksi dengan prototipe tersebut. Amati bagaimana orang berinteraksi dengan purwarupa tersebut. <\/p>\n

Perhatikan baik-baik, apakah fitur yang telah didesain diterima dengan baik atau tidak atau apakah ada hal-hal yang sesuai dan tidak sesuai dengan harapan ketika orang menggunakan purwarupa tersebut. Di sini kita harus mencatat apa saja poin untuk meningkatkan fitur purwarupa sehingga bisa lebih baik.<\/p>\n

b. Iteration<\/em><\/p>\n

Sesuai definisinya, iteration<\/em> adalah pengulangan suatu proses untuk menghasilkan hasil. Begitu pula dengan design thinking, <\/em>yang bersifat iteratif dan non-linear. Artinya, hasil pengujian bisa membuat kita kembali meninjau tahap empati atau menjalankan beberapa sesi pembuatan ide lagi sebelum membuat prototipe yang berhasil.<\/p>\n

Walau dilakukan berulang, yakinlah tak ada yang sia-sia. Pasalnya, mengulangi proses design thinking <\/em>bisa meningkatkan pemahaman tentang produk dan penggunanya sedalam mungkin. <\/p>\n

Setiap pengulangan proses adalah satu iterasi, dan hasil dari setiap iterasi kemudian menjadi titik awal dari iterasi berikutnya. Melalui design thinking, <\/em>kita dapat melanjutkan dengan iterasi lebih lanjut dan membuat perubahan dan penyempurnaan untuk mengesampingkan solusi alternatif.<\/p>\n

c. Impact<\/em><\/p>\n

Setelah solusi yang layak telah teruji melalui prototype<\/em>, lanjutkan proses design thinking <\/em>dengan mengukur dampak inovasi melalui implementasi. Implementasi sendiri merupakan proses di mana kita benar-benar mencoba solusi dengan cara yang lebih besar dan dengan konteks yang lebih nyata dari sekedar prototype.<\/em><\/p>\n

Rencana ini harus mencakup garis waktu, sumber daya yang diperlukan, dan tonggak penting. Semua ini dilakukan sambil juga memikirkan tentang kelayakan solusi lebih lanjut dengan terus memantau dan mengevaluasi kemajuan implementasi desain. Selanjutnya, gunakan umpan balik ini untuk melakukan penyesuaian dan peningkatan sesuai kebutuhan.<\/p>\n

Setelah kita mengetahui tiga tahapan design thinking<\/em> Innovesia, kita mengenal keindahan pola berpikir untuk menjadi lebih inovatif. Design thinking<\/em> memberikan ruang bagi kita untuk gagal dan memperbaikinya dengan cepat. Belajar dari kegagalan, kita harus memahami mengapa kita gagal dan mengapa kita harus memperbaikinya. <\/p>\n

Dengan mengalami berbagai kegagalan ide, prototype<\/em>, pengujian, dan sebagainya, maka hal tersebut membuat ide inovatif menjadi semakin matang dan siap ketika diluncurkan.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Dewasa ini, di mana inovasi menentukan kesuksesan dan pertumbuhan bisnis, kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah design thinking. Pasalnya, popularitas design thinking telah berjalan selama beberapa dekade terakhir karena berhasil menjadi kunci kesuksesan banyak organisasi global terkemuka. Perusahaan ternama seperti Apple, Google, dan Samsung, bahkan telah mengadopsi pendekatan design thinking dalam operasional mereka. […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":432,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":true,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[143],"tags":[16,18,20,17],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/430"}],"collection":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=430"}],"version-history":[{"count":10,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/430\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2077,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/430\/revisions\/2077"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/432"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=430"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=430"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=430"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}