{"id":1534,"date":"2023-09-04T13:30:21","date_gmt":"2023-09-04T06:30:21","guid":{"rendered":"https:\/\/designthinking.id\/?p=1534"},"modified":"2023-10-17T22:22:51","modified_gmt":"2023-10-17T15:22:51","slug":"meningkatkan-efektivitas-crowdsourcing-dengan-strategi-end-to-end","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/designthinking.id\/eksklusif\/meningkatkan-efektivitas-crowdsourcing-dengan-strategi-end-to-end\/","title":{"rendered":"Meningkatkan Efektivitas Crowdsourcing dengan Strategi End-to-End"},"content":{"rendered":"
Crowdsourcing <\/em>memang menawarkan kemudahan untuk menghimpun ide atau gagasan baru yang segar. Melalui crowdsourcing, <\/em>perusahaan atau organisasi lainnya bisa memperoleh ide atau konten yang dibutuhkan dengan meminta kontribusi dari sekelompok besar orang. Dengan meluncurkan suatu tantangan ke publik, perusahaan bisa menjaring ide atau solusi secara masif. Namun dalam praktiknya, crowdsourcing <\/em>sering kali tidak berjalan sesuai harapan karena penanganan yang kurang tepat.<\/p>\n Crowdsourcing <\/em> Menurut Digital Transformation Expert, Daniel Oscar Baskoro, banyak perusahaan yang hingga kini masih terjebak dan menganggap crowdsourcing <\/em>hanya sebatas kompetisi untuk mengumpulkan ide dari luar perusahaan.<\/p>\n crowdsourcing <\/em><\/p>\n \u201cAda miskonsepsi di mana perusahaan melihat <\/em>crowdsourcing<\/em> hanya sebagai kompetisi menghimpun ide. Dapat proposal, penjurian, menentukan juara sudah selesai. Kadang-kadang semua berhenti di competition<\/em>, ga diteruskan dan itu bukan crowdsourcing<\/em>. Karena crowdsourcing <\/em>itu harus sampai pada implementasi dari ide atau solusi tersebut,\u201d ujar pria yang akrab disapa Oscar itu.<\/p>\n <\/em> Kegagalan ini bukan datang karena ketidakmampuan crowdsourcing <\/em>dalam menjaring ide. Pasalnya HBR mencatat inisiatif tersebut menghasilkan lusinan ide inovasi yang layak untuk menyelesaikan setiap tantangan yang diluncurkan VDMA.\u00a0<\/p>\n crowdsourcing <\/em><\/p>\n Walau banyak ide berhasil dihimpun, tak ada satupun dari solusi itu yang diterapkan oleh anggota asosiasi yang jumlahnya lebih dari 3.200 perusahaan. Alasannya, karena seluruh anggota asosiasi menolak menggunakan ide atau solusi apapun yang tidak ditemukan secara internal.<\/p>\n Nasib yang sama juga menimpa perusahaan rintisan atau startup <\/em>Quirky. Berdiri pada 2009, Quirky berfokus pada crowdsourcing <\/em>melalui platform yang memungkinkan para inventor menyampaikan ide inovasi mereka dan mengembangkannya menjadi produk.\u00a0<\/p>\n startup <\/em> Meski sempat mendapatkan pendanaan hingga USD 170 juta, startup <\/em>bentukan Ben Kaufman itu mengajukan kebangkrutan pada tahun 2015, sebagian karena kegagalan perusahaan dalam mengembangkan sistem untuk meningkatkan penemuannya ke dalam produksi.<\/p>\n startup <\/em><\/p>\n Baik, VDMA dan Quirky sama-sama menunjukkan bahwa crowdsourcing <\/em>bukan hanya sekedar perkara menjaring ide inovasi atau solusi.\u00a0<\/p>\n crowdsourcing <\/em><\/p>\n Sikap keterbukaan terhadap ide-ide dari luar memang merupakan jiwa dari crowdsourcing<\/em>. Namun, menurut Oscar, crowdsourcing <\/em>lebih dari sekedar aktivitas menghimpun ide tapi juga memastikan ide yang dihimpun mampu diubah menjadi solusi atau program yang dapat diadopsi ke perusahaan.<\/p>\n crowdsourcing<\/em> Langkah lanjutan inilah yang dinilai pria lulusan Columbia University tersebut kerap luput dalam pelaksanaan crowdsourcing. <\/em>Untuk menghindari apa yang terjadi pada VDMA dan Quirky, perusahaan perlu keluar dari miskonsepsi dan berhenti melihat crowdsourcing <\/em>sebagai kompetisi.\u00a0<\/p>\n crowdsourcing. <\/em> Oscar menekankan, kompetisi untuk menjaring ide hanyalah langkah permulaan dalam crowdsourcing. <\/em>Menurut Oscar, setiap entitas baik perusahaan atau organisasi lainnya membutuhkan strategi atau metodologi secara end-to-end <\/em>ketika hendak menggunakan metode satu ini.<\/p>\n crowdsourcing. <\/em> \u201cKalau crowdsourcing<\/em> mikirnya harus secara end-to-end<\/em>, masalahnya apa yang hendak kita selesaikan, siapa target yang akan menghimpun masalahnya, bagaimana kita bisa mengkurasi si masalah, kemudian tahapan kita crowdsourcing<\/em> idenya bukan hanya masalahnya, solusinya, abis crowdsourcing solusi baru bisa diadopsi menjadi sebuah program,\u201d jelas Oscar.<\/p>\n crowdsourcing<\/em> Strategi end-to-end <\/em>inilah yang menurut Oscar kerap dilupakan oleh banyak perusahaan ketika hendak memanfaatkan pengetahuan atau keterampilan masyarakat melalui crowdsourcing. <\/em>Dalam pandangannya, Oscar menilai keberhasilan crowdsourcing<\/em> tidak hanya terletak pada proses pengumpulan informasi dan gagasan semata, melainkan juga pada langkah-langkah yang diambil setelah solusi-solusi berharga berhasil ditemukan.<\/p>\n end-to-end <\/em> \u201cPastikan tujuannya itu apa dan jelas, dan pastikan metodologi yang digunakan itu secara end-to-end<\/em> dan tak hanya sekedar mengumpulkan ide tapi memastikan betul setelah ide terkumpul apa yang selanjutnya dilakukan,\u201d tutur Oscar.<\/p>\n end-to-end<\/em><\/p>\n
\ncrowdsourcing, <\/em>
\ncrowdsourcing <\/em><\/p>\n
\ncrowdsourcing<\/em>
\ncompetition<\/em>
\n crowdsourcing<\/em>
\ncrowdsourcing <\/em>
\ncrowdsourcing <\/em>
\nHarvard Business Review <\/em>
\n, <\/em>
\ncrowdsourcing, <\/em>
\n <\/em>
\n crowdsourcing <\/em><\/p>\n
\ncrowdsourcing <\/em><\/p>\n
\ncrowdsourcing <\/em><\/p>\n
\ncrowdsourcing <\/em><\/p>\n
\nend-to-end <\/em><\/p>\n
\nend-to-end<\/em>
\n crowdsourcing<\/em><\/p>\n
\ncrowdsourcing. <\/em>
\ncrowdsourcing<\/em><\/p>\n