{"id":1171,"date":"2023-06-09T14:12:11","date_gmt":"2023-06-09T07:12:11","guid":{"rendered":"https:\/\/designthinking.id\/?p=1171"},"modified":"2023-10-18T08:37:01","modified_gmt":"2023-10-18T01:37:01","slug":"metode-lean-startup-cara-startup-membangun-bisnis-berbasis-pelanggan","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/designthinking.id\/edukasi\/metode-lean-startup-cara-startup-membangun-bisnis-berbasis-pelanggan\/","title":{"rendered":"Metode Lean Startup: Cara Startup Membangun Bisnis Berbasis Pelanggan"},"content":{"rendered":"

Terlalu banyak startup<\/em> memulai bisnis berbekal ide untuk produk atau jasa yang menurut mereka diinginkan orang. Mereka kemudian menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk menyempurnakan produk tersebut tanpa pernah menunjukkan ide produk atau prototype<\/em> sederhana kepada calon pelanggan.\u00a0<\/p>\n

startup<\/em>
\nprototype<\/em><\/p>\n

Parahnya, startup <\/em>bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk berbicara dengan calon pelanggan dalam menentukan apakah produk yang mereka kerjakan itu menarik atau tidak. Alih-alih berbicara kepada pelanggan, banyak startup <\/em>hanya tertarik membicarakan kehebatan produk mereka di depan venture capital <\/em>untuk mendapatkan pendanaan. Inilah yang terjadi, ketika startup <\/em>akhirnya merilis produk mereka ke pasar, tidak ada konsumen yang tertarik dengan apa yang mereka tawarkan, startup<\/em> tersebut pun gagal.<\/p>\n

startup <\/em>
\nstartup <\/em>
\nventure capital <\/em>
\nstartup <\/em>
\nstartup<\/em>
\nstartup <\/em>
\nuser need. <\/em>
\nstartup <\/em>
\nstartup <\/em>
\nstartup <\/em><\/p>\n

Padahal kegagalan sejenis ini sepenuhnya bisa dicegah jika startup <\/em>mau meluangkan waktu mereka untuk berkomunikasi dan memahami kebutuhan calon pelanggan sebelum mengembangkan suatu produk. Metodologi inilah yang dikenal luas dengan sebutan \u201clean startup\u201d.<\/p>\n

startup <\/em><\/p>\n

Secara definisi, lean startup <\/em>adalah metode yang ditujukan untuk membuat dan mengelola startup<\/em> dan mendapatkan produk yang diinginkan ke tangan pelanggan dengan lebih cepat. Berbeda dengan model bisnis tradisional, lean startup <\/em>tidak dimulai dengan pengembangan rencana bisnis melainkan mencari model bisnis yang sesuai kebutuhan pasar.\u00a0<\/p>\n

lean startup <\/em>
\nstartup<\/em>
\nlean startup <\/em>
\nlean startup <\/em><\/p>\n

Jika saat ini Anda berpikir untuk membuat bisnis dan sedang mencari metode untuk melakukannya, sebaiknya Anda memahami perbedaan antara metodologi lean startup dan metodologi tradisional. Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh metodologi lean akan membantu Anda menentukan apakah metode tersebut tepat untuk Anda dan bisnis Anda.<\/p>\n

Definisi <\/strong>Lean Startup <\/em><\/strong>dan Perbedaannya dengan Pendekatan Bisnis Tradisional<\/strong><\/p>\n

Definisi <\/strong>
\nLean Startup <\/em><\/strong>
\nLean Startup <\/em>
\ndan Perbedaannya dengan Pendekatan Bisnis Tradisional<\/strong><\/p>\n

Konsep lean startup <\/em>pertama kali dikenal pada awal tahun 2000-an dan berkembang menjadi metodologi pada sekitar tahun 2010, yang dikembangkan oleh pengusaha Steve Blank dan Eric Ries. Pada 2011, Ries menerbitkan ikhtisar bertajuk The Lean Startup<\/em>. Metodologi ini diciptakan untuk meminimalkan risiko bawaan yang muncul saat membangun startup<\/em>.\u00a0<\/p>\n

lean startup <\/em>
\nThe Lean Startup<\/em>
\nstartup<\/em><\/p>\n

Metode lean startup <\/em>telah mengubah bahasa yang digunakan startup<\/em> untuk mendeskripsikan pekerjaan mereka. Jika pendekatan tradisional berpusat pada pengembangan produk secara diam-diam untuk menghindari peringatan pesaing potensial terhadap peluang pasar, lean startup <\/em>justru mendorong pengusaha untuk terjun ke pasar mencari model bisnis yang tepat dan akhirnya menguji ide yang mereka miliki. Umpan balik yang diterima dari calon pelanggan kemudian digunakan untuk mengulangi produk dan memperbaikinya.<\/p>\n

lean startup <\/em>
\nstartup<\/em>
\nlean startup <\/em><\/p>\n

Pendekatan tradisional umumnya mengharuskan startup <\/em>membuat rencana bisnis yang menjabarkan semua tujuan dan ide mereka tentang bagaimana mereka akan mencapai kesuksesan. Rencana ini biasanya mencakup besarnya peluang, masalah yang harus dipecahkan, dan solusi yang akan diberikan oleh usaha baru tersebut, juga perkiraan pendapatan, keuntungan, dan arus kas dalam lima tahun kedepan.\u00a0<\/p>\n

startup <\/em><\/p>\n

Begitu startup <\/em>memiliki rencana bisnis yang matang dan memperoleh uang dari investor, mereka akan mulai menginvestasikan ribuan jam kerja untuk membuat produknya sempurna dengan sedikit masukan dari calon pelanggan atau bahkan tidak sama sekali. Umpan balik calon pelanggan dalam hal ini hanya dilibatkan setelah startup <\/em>mencoba menjual produknya.<\/p>\n

startup <\/em>
\nstartup <\/em><\/p>\n

Sebaliknya, metodologi lean<\/em> startup <\/em>bertentangan dengan standar yang telah lama digunakan pada pendekatan tradisional. <\/em>Pasalnya, metode ini justru memandang umpan balik pelanggan jauh lebih penting daripada kerahasiaan.<\/p>\n

lean<\/em>
\nstartup <\/em>
\n <\/em>
\nHarvard Business Review<\/em>
\n, <\/em>
\nlean startup <\/em><\/p>\n

Dengan begitu, mereka akan meringkas hipotesis mereka dalam kerangka kerja dan mengujinya di antara pelanggan untuk mendapatkan umpan balik. Pengusaha selanjutnya menggunakan umpan balik pelanggan untuk merekayasa ulang produk mereka.<\/p>\n

Dengan mengujikan idenya kepada pelanggan, startup <\/em>dapat mengukur minat konsumen terhadap produk dan menentukan bagaimana produk mungkin perlu disempurnakan. Proses inilah yang disebut sebagai pembelajaran yang divalidasi.\u00a0<\/p>\n

startup <\/em><\/p>\n

Ketika pelanggan tidak bereaksi seperti yang diinginkan, startup<\/em> dapat dengan cepat menyesuaikan diri untuk kembali mengembangkan produk yang diinginkan konsumen dan menghindari penggunaan sumber daya yang tidak perlu dalam pembuatan dan pengembangan produk.<\/p>\n

startup<\/em><\/p>\n

Memahami kebutuhan itu penting karena harapan konsumen selalu tinggi. Kebutuhan pelanggan membantu kami untuk mengungkapkan dan memahami siapa konsumen kami, dan keadaan atau faktor\u00a0 yang mengarahkan mereka untuk menggunakan produk atau layanan.<\/p>\n

Memahami <\/strong>Lean Startup <\/em><\/strong>dengan <\/strong>Design Thinking<\/em><\/strong><\/p>\n

Memahami <\/strong>
\nLean Startup <\/em><\/strong>
\nLean Startup <\/em>
\ndengan <\/strong>
\nDesign Thinking<\/em><\/strong>
\nDesign Thinking<\/em><\/p>\n

Metode lean startup<\/em> sejatinya mengadvokasi konsep pengembangan iteratif dan agile<\/em>, yang mengharuskan pengusaha membangun prototype<\/em> dengan cepat, dan mengujikannya ke pasar untuk mengukur keberhasilan produk tanpa menghabiskan sumber daya yang tidak perlu. Adapun data yang dihasilkan dari proses pengujian ini nantinya digunakan dalam fase pembangunan berikutnya. Tahapan ini juga telah dikenal luas dalam pendekatan design thinking.<\/em><\/p>\n

lean startup<\/em>
\nagile<\/em>
\nprototype<\/em>
\ndesign thinking.<\/em><\/p>\n

Design thinking <\/em>didasarkan pada metode ilmiah yang diadaptasi dalam bisnis, khususnya dalam menciptakan produk, layanan, dan pengalaman yang berakar pada pengalaman manusia atau dalam hal ini adalah calon pelanggan.<\/p>\n

Design thinking <\/em>
\ndesign thinking<\/em>
\n <\/em>
\nprototype<\/em>
\nDesign thinking<\/em><\/p>\n

Seperti lean startup, <\/em>hipotesis dalam design thinking <\/em>diperoleh melalui riset untuk memahami kebutuhan pelanggan. Design thinking <\/em>dalam hal ini menawarkan cara untuk mengumpulkan dan memahami data subjektif dan kualitatif, seperti keinginan, kebutuhan, serta pengalaman pribadi pelanggan, dan menyoroti kebutuhan utama yang perlu dipenuhi hingga mengembangkan solusi atas kebutuhan itu.<\/p>\n

lean startup, <\/em>
\ndesign thinking <\/em>
\nDesign thinking <\/em><\/p>\n

Setelahnya, tahap design thinking <\/em>menuntut penggunanya mengembangkan prototype <\/em>atas solusi yang dimiliki dan mengujinya kepada pelanggan. Fase pengujian ini akan dengan cepat menyoroti setiap kekurangan desain yang perlu ditangani. Proses design thinking <\/em>yang iteratif meningkatkan kemampuan seseorang untuk mempertanyakan masalah, meragukan asumsi dan implikasinya. Karena itulah pengaplikasian design thinking <\/em>mendorong startup <\/em>untuk menciptakan solusi yang memenuhi kebutuhan nyata pelanggan.<\/p>\n

design thinking <\/em>
\nprototype <\/em>
\ndesign thinking <\/em>
\ndesign thinking <\/em>
\nlook here<\/a>
\nstartup <\/em>
\ndesign thinking <\/em>
\ndesign thinking <\/em>
\nproduct market-fit<\/em><\/p>\n

Berdiri sejak 2015, Innovesia telah membantu lebih dari 100 perusahaan, pemerintah, organisasi dan institusi pendidikan secara lokal dan global untuk berinovasi dengan \u00a0mengimplementasikan metodologi design thinking. <\/em>Dengan begitu, bisnis dapat mengembangkan pemahaman terbaik tentang pelanggan, kebutuhan mereka, dan masalah yang mendasari pengembangan produk atau layanan yang ingin diciptakan atau perbaiki.\u00a0<\/strong><\/p>\n

design thinking. <\/em>
\n\u00a0<\/strong>
\nworkshop design thinking <\/em>
\nworkshop <\/em><\/p>\n

Dengan pendekatan Human Centered Design<\/em>, Innovesia membantu IUWASH Tangguh untuk mengembangkan prototype <\/em>Open Source Real-Time Water Pressure Sensor yang diinstal di dua PDAM di Kota Bogor dan Kota Bekasi dalam proyek pengembangan OSH yang didanai oleh USAID.<\/p>\n

Human Centered Design<\/em>
\nprototype <\/em><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Terlalu banyak startup memulai bisnis berbekal ide untuk produk atau jasa yang menurut mereka diinginkan orang. Mereka kemudian menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk menyempurnakan produk tersebut tanpa pernah menunjukkan ide produk atau prototype sederhana kepada calon pelanggan.\u00a0 startup prototype Parahnya, startup bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk berbicara dengan calon pelanggan dalam menentukan apakah […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":1172,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":[],"categories":[143,144],"tags":[24,16,18,19,23],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1171"}],"collection":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=1171"}],"version-history":[{"count":5,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1171\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2188,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1171\/revisions\/2188"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/1172"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=1171"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=1171"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/designthinking.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=1171"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}